Minggu, 11 Mei 2014

Memori Sectio Caesar (SC), Delivering

Hahaha... Bingung mau bikin judul gimana. Yang jelas intinya dari tulisan saya kali ini adalah mengenang kembali detik-detik melahirkan dulu. 

Kalau diingat-ingat lagi, jujur kayak enggak percaya dulu pernah merasakan hamil. Soalnya sekarang udah gede bayinya, mau masuk 10 bulan. Gak kerasaaaa... Padahal perasaan baru aja hamilnya, nikahnya juga hehehe. Beneran, tiga tahun tuh rasa baru 3 hari. Itu lah hidup (ni tulisan jadi fokus kemana sih?). 

Kebetulan saya dan suami sepakat untuk melahirkan di Aceh, disamping ibunda saya tercinta. Kalo ma mertua agak segan kalau perlu apa-apa. Bareng suami, malah kejauhan aksesnya kalau sewaktu-waktu kontraksi hebat. Akhirnya, mau gak mau saya bersikeras mau melahirkan dekat mama aja. 

Kebayang dong malam ini kamu masih asyik chatting ama suami yang notabene berjauhan (karena ia kerja di lapangan) trus tiba-tiba lagi enak-enaknya tidur, ada yang nendang-nendang dari dalam perut ngebet pengen keluar. Jangan bayangin kayak rasa kebelet pengen BAB. Lebih dari itu malah. Sumpah, tepat jam 2 malam tanggal 16 juli 2013 bertepatan dengan 7 Ramadhan di usia kehamilan tepat 40 minggu janin dalam perut menunjukkan aksi pemberontakan brutal pertamanya. Sakitnya luar binasa, dah! Tapi berlangsungnya hanya beberapa menit aja. Soalnya sempat berhenti lalu saya coba tidur dan terlelap selama satu jam. 

Tapi ternyata tepat jam 3 malam sundulan janin makin menjadi-jadi. Anehnya bukan mules di perut yang saya rasakan melainkan sakit yang super duper di bagian miss V. Karena terus-terusan dan enggak tahan lagi, akhirnya saya gedor-gedor lah pintu kamar mama dan ayah yang sedang tidur lelap. Sejak itu, sakitnya nyaris tanpa interval dan saya pun panik. Tingkah udah kayak orang gila dan sempat diprotes sama mama karena mondar-mandir enggak jelas di dalam rumah. Mama menyuruh saya untuk duduk agar tenang. Boro-boro mau tenang, ini miss V rasanya udah sobek. 

Setelah ngeliat baju tidur saya yang mulai berlendir bercampur sedikit darah, mama pun bergegas bersama ayah untuk mengantarkan saya ke RSU. Untungnya sorenya mama bersikeras untuk memasukkan pakaian bayi ke dalam koper karena jauh-jauh hari firasat beliau bilang bayi saya bakal lahir tanggal 16. Ada apa dengan tanggal 16? Ntar ulasan berikutnya :D

Terus terang, kondisi psikis saya bener-bener enggak siap dengan kontraksi yang lebih cepat dari perkiraan yang seharusnya tanggal 23 juli nanti. Padahal menjelang maghrib sempat kontrol juga, soalnya suka sering dorong. Tapi ya yang namanya melahirkan memang misteri. Enggak ada yang bisa memastikan. Begitu tiba di RS jam 4, oleh bidan diperiksa bagian dalam yang katanya udah bukaan 1. Masih lama, katanya. Ya Allaah, udah sakitnya ampun-ampunan. Kapan lahirnya? Trus diperiksa lagi pukul 6 lebih karena saya sempat tidur sambil nahan sakit dan penuh keringat, bukaan 3. Lalu bidan nyuruh saya untuk jalan. Tapi anehnya, saya lunglai. Enggak kuat jalan sama sekali, harus dipapah. Sementara darah udah menetes di lantai ruang bersalin. 

Aneh yang lain lagi adalah saya sama sekali enggak sanggup tidur. Saya hanya bisa duduk untuk nahan sakit kontraksi yang terjadi. Tiap kali rebah kepala, otomatis terangkat karena takut jatuh kalau tidur terlentang. Dokter koas dan bidan memegang perut saya, langsung dapat tepisan dari saya. Enggak sopan banget, enggak tau sakit apa??? Hehe

Berulang kali saya minta SC segera. Tetangga yang datang atas permintaan mama menyemangati untuk normal. Bidan mulai bosan dengerin keluhan saya. Belum lagi di ruangan itu orang-orang pada sewot, bikin saya makin stress dan makin yakin memilih jalan SC di tengah perasaan sedang meregang nyawa. Apalagi mengingat suami jauh di Kalimantan. Pikiran saya melayang seketika, berangan-angan. Gimana kalau ntar saya meninggal pas lagi melahirkan, minimal bayi kami selamat walaupun saya harus kehilangan nyawa. Karena di hadapan mata seolah-olah bayang-bayang kematian itu hadir siap menjemput saya. Belum lagi melihat di tangan bidan yang sudah menyediakan obat syntho. TIDAAAK, SAYA ENGGAK MAU DIINDUKSI! Akhirnya, bulat tekad saya untuk memilih SC untuk melahirkan. 

Ternyata harus mengantri, ada pasien yang sedang SC. Ayah menjadi wakil dari suami untuk mentandatangani surat perjanjian operasi. Sambil menunggu, saya diwajibkan melepas seluruh pakaian tanpa sehelai benang pun. Infus dipasang. Jujur, belum pernah sebelumnya saya merasakan diinfus dan dirawat di RS. Setelah usai, saya digiring ke ruang operasi. Namun tidak juga mulus, harus menunggu beberapa saat untuk para perawat dan dokter mempersiapkan alat operasi. 

Begitu masuk ruangnya, kepala saya langsung dibalut dengan penutup plastik. Perhiasan semuanya harus dilepas, lalu tangan dihubungkan dengan tensi meter otomatis untuk memantau tekanan darah. Di atas kepala terlihat lampu operasi. Ahli anestesi menyuruh saya untuk duduk tegak dan terasa ada sensasi dingin di punggung dan segera rasa sakit yang luar binasa tadi hilang seketika. Tubuh saya kembali terlentang. Setelah itu, kaki saya disentuh dan mereka bertanya masih merasakan atau tidak. Saat memastikan saya sudah tidak merasakan apa-apa dan entah apa yang mereka lakukan, proses operasi pun dimulai. 

Saya yang sadar mengintip dari batang lampu operasi saat perut dibelah. Lalu beberapa orang perawat mendorong perut saya dan taraaaa... Keluarlah bayi mungil merah yang langsung menangis walaupun terdengar masih ada air ketuban yang terperangkap di mulut karena belum dibersihkan. Dan saya sangat terkesima karena hanya lima menit saya proses itu berlangsung. Sophisticated! Selanjutnya saya dipersilakan untuk tidur selama penjahitan dilakukan. 

Ahh, itulah sekelumit kisah saat menghadapi proses melahirkan. Memang ngaruh ada dan tidak adanya suami di sisi terhadap kesiapan mental saat akan melahirkan. Apalagi saya sengaja tidak memberitahu suami perihal kontraksi yang saya alami karena takut meresahkan dirinya. Alhamdulillah, suami segera berangkat setelah mendapat kabar dari mama via hp ke Aceh. Bahkan ia tidak percaya malaikat kecil itu begitu cantik :D

 

Terlepas dari pengalaman ibu-ibu lain yang juga mengambil tindakan SC, saya sama sekali tidak mengalami keluhan bahkan setelah efek obat bius selesai tidak merasakan sakit pada bekas luka operasi. Mungkin berbeda perlakuan berbeda reaksinya. Apa karena saya juga orangnya kurus ya? Jadi tidak banyak keluhan pasca operasi. Kurang tahu juga! Satu hal lagi, saya selalu mensyukuri apapun yang telah saya jalani. Walaupun orang mengelu-elukan jalan normal, kalau ternyata kondisi seseorang mengharuskan operasi, apa salahnya? Kalau ternyata normal memberi resiko untuk diambil kenapa memaksa? Yang penting bayinya sehat dan selamat, apalagi lucu dan menggemaskan haha...

Saya bersyukur karena dokter mengatakan bahwa plasenta janin sudah menghitam alias post date. Enggak kebayang kalau normal seperti apa jadinya. Tapi yang saya yakini, semuanya sudah Allah yang mengatur :)

Jumat, 09 Mei 2014

9 Bulan Gak Haid, Hamilkah???

Setelah melahirkan setiap wanita pasti mengalami masa nifas. Saya melewati kurang dari 50 hari masa nifas. Tapi anehnya setelah itu hingga bayiku akan menginjak 10 bulan, haid belum kunjung tiba. Hati bertanya-tanya, hamilkah?

Memang sebulan setelah nifas usai keluar flek-flek darah saja. Tapi cuma sebentar. Sampai sekarang tidak pernah lagi muncul tanda-tanda akan haid. Cuma ya gak ngerasa hamil juga, sih. Perut juga tepos-tepos aja. Gak ada perubahan yang berarti yang menunjukkan kehamilan. 

Setelah bertanya sana sini, mendengar pendapat fulanah fulanah, ternyata wajar saja kalau setelah nifas haidnya datang lama. Ada yang bilang itu berarti bayinya kuat mimiknya, KB alami, ASI-nya banyak dan bagus, hormon, dan banyak lagi pendapat-pendapat lain. Tak jarang malah ada yang menyarankan untuk cek ke Obgyn untuk memastikan bahwa reproduksinya bagus-bagus aja. Memang selama ini belum pernah cek ke dokter, sih. Apalagi belum KB juga 😁

Walaupun keyakinan saya saat ini memang KB alami dari belum datangnya haid berjalan 100%, tetap aja ada kekhawatiran gimana kalau seandainya kebobolan. Melihat Nai yang masih begitu butuh perhatian penuh, masih ngerasa keteteran dalam mengasuh, fisik dan ruhiyah saya yang juga labil, saya putuskan untuk pasang KB tak lama lagi. 
Keputusan ini bukan karena menuruti ego pribadi, melainkan melihat sikon di lapangan semata-mata agar tidak ada yang terdzalimi serta dapat menjalankan amanah Allah untuk menyusui selama 2 tahun tergenapkan. 

Tidak dipungkiri kalau sebaiknya memang KB alami yang seharusnya diambil. Tapi namanya manusia, nafsi-nafsi. Toh kenyataan di lapangan banyak sekali yang mengaku kebobolan sehingga menghadapi banyak kesulitan dalam mengasuh anak. Apalagi jaman sekarang yang begitu banyak fitnah, gak kebayang deh ntar jaman 20 tahun ke depan kayak apa. 

Na'udzubillaahi min dzaalik. 

Kamis, 08 Mei 2014

Puasanya Ibu Menyusui

Melahirkan di bulan Ramadhan terasa ada berkah tersendiri. Apalagi lahirnya tepat tanggal 7 Ramadhan. Serasa tanggal keramat aja hehe. Melihat sosok mungil yang sebelumnya cuma bisa menerka-nerka rupa, kini bisa langsung ditatap dengan tampang yang tentu saja, speechless abis. Bahagia banget ampe terdiam seribu bahasa. 

Ternyata setelah menyadari bahwa membesarkan anak tidak semudah membalikkan telapak tangan, kini saya harus merasakan yang namanya ganti puasa yang jumlahnya sampai 23 hari. Apalagi, Ramadhan bakal datang akhir Juni. Itu artinya sebentar lagi. Aaaaarrrgghhh... Bukan Dek Ros namanya kalo enggak ganti puasa karena habis melahirkan!

Kebetulan Nai usianya sudah memasuki tujuh bulan, saya pun memutuskan untuk mengganti puasa. Kan udah mulai MPASI tuh dek Nai-nya. Jadi enggak ada alasan buat enggak puasa. Kalo alasannya kasian ntar mimiknya kurang, saya justru lebih takut untuk enggak yakin sama Allah yang jangan sampai sudah diamanahkan anak oleh-Nya malah meninggalkan kewajiban yang tidak ada uzurnya sedikitpun. 

Hari pertama ganti puasa gempor abis. Apalagi pake acara sahur cuma minum air teh hangat aja. Alhasil, bukan cuma diri sendiri yang enggak ada bedanya kayak orang yang lagi sekarat, bayi juga ikutan muntah deh. Bisa jadi karena kurang asupan jadi asinya aneh di lidahnya. Dari situ, jadi kapok deh kalo enggak sahur dulu pas mau puasa. 

Alhamdulillah insiden muntahnya cuma sekali itu aja. Di puasa-puasa selanjutnya Nai anteng kayak biasa. Tetap semangat dan berbahagia. Sampai hari ini, mudah-mudahan lolos ampe maghrib, dari 23 hari tersisa tinggal 14 hari lagi. Moga aja sebelum puasa Ramadhan tiba, saya udah lunasin hutang-hutang puasa ma Allah. 

Selama ini sih modal saya untuk ganti puasa cuma dengan komitmen untuk menyelesaikan. Soalnya kalo enggak komit dan memulai, udah pasti enggak bakalan keganti puasanya. Dan sebisa mungkin mengalokasikan tiap Senin dan Kamis rutin puasa. Biar ada keleluasaan Nai untuk mendapat asupan makanan lewat ASI selain makanan penunjang lainnya. 

Buat ibu-ibu menyusui, jangan sampai anak melalaikan kita dari ibadah wajib kepada Allah swt. Kalau puasanya masih ada yang bolong jangan tunda-tunda lagi, buruan ganti segera. Hutang sama Allah tu berat ganjarannya. Apalagi kalau secara fisik kita mampu, tidak ada alasan untuk membayar fidyah sebagai upaya menggantinya dengan puasa. Allah yang akan mencukupkan rezeki pada anak. Jadi enggak perlu khawatir anak kekurangan makanan saat kita sedang ganti puasa ;)