Sabtu, 12 April 2014

Dua Lembar Biru Penyelamat

Bangun pagi tadi suami ngajakin ke kota karena ada rapat dengan vendornya. Sekalian belanja, pikirku. Ia mengingatkan pukul sepuluh teng harus sudah siap berangkat. Oke, jawabku. 

Bayi sudah selesai kudandani. Aku dan suami juga siap untuk berangkat. Ada yang belum ternyata. Dompet. Aku ingat tadi pagi sudah memasukkan sejumlah uang ke dalamnya. Langsung masuk kamar untuk mengambilnya dan kuletakkan di atas meja terlebih dahulu. Ada hpku yang bersanding dengan dompet warna putih itu. 

Sementara aku ke kamar mengambil kaos kaki, suami sudah menuju mobil bersama bayi kami tercinta. Cepat-cepat kuambil hp karena dompet sudah tak terlihat di antara tumpukan benda-benda di meja. Pasti suami sudah mengamankannya. Sebelumnya aku sempat mengambil lagi seratus ribu, takut uangnya kurang karena harus belanja untuk bekal satu minggu ke depan. 

Masuk mobil kutanya suami,"Bang, dompet adek udah abang ambil?", dengan segera ia jawab,"Udah nih," sambil menyentuh saku belakang celananya. Bayi kurangkul dan suami langsung tancap gas. 

Setelah rapat selesai, tiba waktunya untuk makan siang. Lumayan bosan menunggu di dalam mobil, walaupun sempat foto selfie bersama bayi sebagai selingan saat memberinya makan. 

"Ayo kita ke Town Hall, makan siang disana," ajak suami. 

"Haayuuk... Siapa takut?" Jawabku ngasal.

Tiba disana aku memesan soto ayam dan jeruk hangat. Pas untuk cuaca yang sedikit mendung, menurutku. Sementara suami memesan mie ayam dan es kelapa muda. Tidak pas sama sekali dengan cuaca yang juga sedikit dingin. Sebelum diantar, suami yang sudah kutitip uang seratus ribu di kantongnya membeli risoles untuk makanan pembuka. 

Setelah makanan dan minuman raib dari wadahnya, kami memutuskan untuk pulang. Sebelumnya kupastikan dahulu apa pesanannya sudah dibayar atau belum karena dompetku dipegang oleh suami dan ia yang memesankan. 

"Pesanan ini udah abang bayar, belum?" 

"Belum." Lantas suamiku menggendong bayi kami. 

"Yaudah sini dompet adek biar adek bayar," pintaku. Tak disangka wajah panik yang kemudian tergambar dari wajah suamiku. 

"Loh, koq sama abang? Enggak ada di abang. Dompet abang enggak ada duitnya," jawabnya setengah panik sambil menyentuh saku belakang, sementara tangan satunya menyangga pantat bayi kami. Lalu sadar dari dua lembar lima puluh ribuan yang telah dibelikan risoles, sisanya diserahkan padaku. Tersisa tujuh puluh ribu. Uang pun berpindah tangan padaku. 

"Lah, tadi sebelum berangkat kan udah adek tanya ma abang katanya udah abang ambil. Gimana, sih?" Kami masih berdebat sambil melangkahkan kaki menuju warung makan pesanan kami. 

"Abang kira tadi adek nanya dompet abang. Yaudah bayar aja dulu, kalau kurang ambil atm ntar." Suamiku nyengir kuda sambil pasang tampang innocent. 

Untungnya, kami makan bukan di tempat biasanya. Harga di Town Hall memang miring dan hanya menghabiskan Rp 42.000 saja dari pesanan kami berdua. Aku ingat sekali ketika membayar di tiga tempat yang berbeda. Aku seperti menanyakan mau angpao berapa pada tiga orang penjual dari warung yang berbeda. Sampai tahan nafas berharap uangnya cukup untuk membayar. Bahkan saat menuju mobil sempat-sempatnya kami saling menyalahkan sambil tertawa-tawa seperti orang gila. Sementara bayi kami yang tak tahu apa-apa hanya bisa menyaksikan tingkah konyol kedua orang tuanya. Ada-ada saja. 

Tapi ada hikmah besar yang menjadi pelajaran dari kejadian ini. Entah ada angin apa yang menggerakkanku untuk mengambil dua lembar lima puluh ribu dari amplop "rahasia". Dan memang tinggal segitu lagi uang di dalamnya. Dua lembar inilah yang menyelamatkan kami dari transaksi yang nyaris berakhir dengan malu tadi. Lain kali tidak mau lagi terulang kembali tragedi dompet yang konyol ini. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar