Selasa, 15 April 2014

(LAGI) Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Saya ingin mengupas karya Bang Tere yang lainnya. Suka banget dengan covernya yang bergambar daun. Cocok banget sama judulnya. Bukan hanya cover, isi bukunya juga bikin perasaan saya teraduk-aduk selama kurang dari 48 jam baca sampai habis. Memangnya gimana sih?

Khas Bang Tere banget, dia mendeskripsikan setting karakternya dengan sangat terlihat. Langsung kebayang! Padahal bahasa yang digunakan tu sederhana banget, gak muluk-muluk dengan diksi yang bikin pusing mikirnya. Gampang dimengerti dan jauh dari kata bertele-tele alias to the point. Alhasil, apapun yang dilihat sama si "Aku" disitu juga jelas sama kita pembacanya. Ya, di novelnya yang satu ini menggunakan sudut pandang orang pertama. 

Yang gak pernah ketinggalan adalah dialog-dialog andalan Bang Tere yang bener-bener jago mainin perasaan pembacanya. Saya tu sampai dibikin senang, kecewa, sedih, tertawa, sebal setengah mati dan juga meleleh keluar air mata. Lihai banget penulis yang satu ini dalam menulis cerita. Belum lagi penokohan atau karakter di dalamnya jelas banget. Kalau tokoh utamanya keras kepala, ntar ada tokoh yang baik budi, tapi gak ketinggalan pasti ada yang jenaka. Karakter masing-masing juga konsisten banget. Didukung sama dialognya yang memperjelas watak tokohnya. Bikin yang baca bertekuk lutut untuk penasaran baca terus. Ketagihan!

Yang punya nama asli Darwis ini juga kalau nulis seringkali mengusung kisah anak-anak yang latar belakangnya kurang beruntung. Namun karena tekad yang luar biasa mereka yang awalnya ditendang malah jadi disayang pada akhirnya. Prosesnya itu yang apik banget dikisahkan oleh penulis satu ini. Dan keliatan banget kalau beliau melakukan riset dulu sebelum nulis sehingga kita pembacanya juga menjiwai banget cerita dan terhadap tokohnya. 

Penasaran kan ama ceritanya?

Singkatnya sih ini kisah dua anak yatim yang harus hidup di rumah kardus di pinggir kota. Awalnya mereka hidup senang tanpa harus bekerja, namun nasib mengharuskan mereka mengamen dan meninggalkan sekolah semenjak ayah Tania dan Dede meninggal. 

Adalah Om Danar yang terpaut 16 tahun dengan Tania yang sangat ringan tangan membantu keluarga mereka. Menyekolahkan ia dan adiknya hingga memberikan uang bulanan kepada ibu mereka. 

Kisah cinta yang pelik ditorehkan dalam novel ini. Benar-benar pelik. Saya ampe gemes ngebayanginnya. Kesel sendiri ama tokohnya. Tapi yang menghibur adalah tokoh Dede yang jenaka lewat dialog-dialognya yang ketus tapi berbalut humor. 

Endingnya sama sekali enggak ketebak ama saya. Bener-bener menggemaskan haha. 

Intinya sebenarnya hanya bayangan Tania di masa enam tahun silam di sebuah toko buku yang memorable banget baginya. Hingga toko mau tutup dia bergegas menemui seseorang berharap menemukan jawaban atas teka-teki hidup dan cintanya.

A must have book deh!

2 komentar:

  1. tia jg udah punya banyak buku tere liye. tapi yg buku ini belum punya. baca rembulan tenggelam di wajahmu kak.. paradoks bgt >>_<<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whaaa Tia udah baca yang Rembulan Tenggelam Di Wajahmu? Kakak udah juga. Iiiiih itu bener2 ngeyakinin banget bahwa dalam hidup karma itu memang ada ya... Sementara buku Tere Liye yg udh kk baca novel itu yg bener2 ngaduk perasaan >,<

      Hapus