Chat dengan seorang teman laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah mantanku - lewat media sosial pun terngiang di pikiran.
Dua bulan terakhir ini aku sering merasa galau. Sehingga aku mencari pelampiasan yang dapat menstabilkan emosi yang kian bertumpuk. Dalam rentang waktu yang sama suamiku kerap bersikap aneh. Entah karena sedang banyak masalah di kantor, bertengkar dengan bos, campur tangan keluarga, atau yang lebih buruk lagi mungkin ada orang ketiga. Entahlah. Yang jelas, aku tak pernah bertanya padanya.
Sejak keanehan sikapnya terhadapku, ketakutan untuk memulai percakapan pun muncul. Padahal biasanya suaraku mendominasi di rumah.
Sebagai istri yang fulltime mengurus rumah, mau tak mau aku butuh curhat tentang keseharianku. Apa yang telah terjadi, apa yang kurasakan, dan semuanya yang kulakukan. Itu hal yang sangat melegakan untuk menyalurkan emosi. Sayangnya momen yang kuharapkan hanya bertahan selama tiga bulan pertama pernikahan kami. Kini sudah lima bulan lebih ia mendiamkan aku. Terus terang, aku jadi tak betah.
Sempat terpikir untuk pulang ke rumah orang tua, tapi aku bingung dengan alasan yang akan kuutarakan. Belum lagi ceramah yang akan kuterima dari mama, yang ada makin merembet kesana-sini. Ujung-ujungnya malah makin runyam. Jadi lebih baik kupendam saja masalah keluarga kecilku rapat-rapat. Mengadu pada mertua? Sama saja seperti melempar api dalam sekam. Posisiku benar-benar terhimpit.
Jalan yang kutempuh adalah memutuskan untuk kembali aktif bereksis ria di dunia maya. Padahal sebelumnya aku sudah putus hubungan dengan media sosial karena ingin mengabdikan sepenuh jiwa ragaku untuk mengurus suami dan rumah. Aku tak ingin jadi korban perceraian rumah tangga yang sedang marak akhir-akhir ini. Namun di sisi lain, aku tak bisa terus-menerus menyimpan sakit di hati seperti ini. Tak ingin sampai terajut luka dari sakit yang terlanjur hadir di dada. Aku hanya ingin mendapat ketenangan batin. Ya, aku rasa itu bisa didapat dengan berbagi dengan orang lain lewat dunia maya. Akan ada banyak teman yang bisa menghiburku.
Aku mulai memainkan jemari lewat seluler pintar sentuhku. Setengah tahun tak kuhiraukan, ternyata sudah banyak yang mengundang pertemanan denganku. Tapi, tunggu! Nama dan foto itu. Mengingatkanku pada seseorang yang pernah singgah di hati. Oh tidak, jantungku berdegub kencang saat kulihat profilnya. Ternyata benar, itu memang dia. Mantanku semasa SMA. Soni Guantheng Buanged. Ternyata dia masih alay, batinku.
Tanpa pikir panjang, kuterima pertemanan darinya dengan tangan gemetar saking gembiranya. Desiran hati semakin menggebu saat kulihat ia mengirim pesan ke inbox. Katanya, sudah lama ia mencariku dan kangen. Sumpah, hatiku berbunga-bunga. Dalam sekejap saja segala masalah yang seolah menggunung lenyap seketika.
Sony Guantheng Buanged: Nina, kamu masih ingat aku, kan? Kamu kemana aja? Aku kangen.
Tanpa pikir panjang segera kubalas,
Nina Sigadis Ting Ting: Soooooon, kamu dimana??? Aku juga kangen...
Kutunggu balasan darinya, berharap ia sedang online.
Satu menit. Dua menit. Lima menit. Huh, kemana sih dia? Hanya terkirim saja, ia belum membacanya. Sambil menikmati tontonan tv favorit sambil duduk santai di sofa, terdengar nada pesan masuk dari medsos messenger dari hpku. Segera kurampas hp dan kubuka pesan yang masuk. Dari dia.
Sony Guantheng Buanged: Hai, Nina...
Pakabar?
Nina Sigadis Ting Ting: Baik, Son.
Sony Guantheng Buanged: Enggak nyangka ketemu lagi meski di dumay :)
Nina Sigadis Ting Ting: Iya rasa seabad enggak ketemu kamu
Sony Guantheng Buanged: Dimana sekarang?
Sudah menikah?
Nina Sigadis Ting Ting: Aku enggak kemana-mana, Son
Disini-sini saja
Aku sudah menikah, Son. Kamu?
Lama ia membalas chatku. Sepertinya sedang berpikir atau malah kecewa. Hiks.
Sony Guantheng Buanged: :)
Masih single.
Entah bagaimana perasaanku saat ia katakan belum menikah. Menyesal, senang campur aduk. Di tengah peliknya suasana hati, berandai-andai terasa lebih menyenangkan. Ah, seandainya Sony bla bla bla.
***
Percakapan di dunia maya antara kami berdua semakin intens. Awalnya berbincang ringan seputar aktivitasnya, meningkat jadi lebih perhatian, dan aku merasa kami semakin dekat. Hingga tiba di suatu titik di mana aku berani berkeluh kesah tentang situasi yang kuanggap 'masalah' di rumah. Memutuskan untuk curhat padanya karena aku butuh pelampiasan atas kekesalanku pada suami yang terasa semakin jauh dariku.
Sony menyambut baik keputusanku dan ia mau menampung segala muntahan kekesalan. Perhatiannya semakin membuatku candu. Tak bisa sehari tanpa sapaan darinya. Jalinan hubungan dengan mantanku itu membuat hidup ini kembali cerah. Kebahagiaan sesaat yang sangat kunikmati meski setiap suami pulang ke rumah, kembali serasa tinggal di neraka. Bahkan aku sampai memasang target. Seandainya sampai hari ulang tahunku yang tinggal seminggu lagi sikapnya masih seperti itu, maka anjuran Sony akan kuindahkan.
Namun sungguh tak disangka-sangka. Sikap jutek suami ada maksudnya. Ia sengaja mendiamkanku karena ingin memberi kejutan tepat di hari ulang tahun. Aku terharu. Teramat sangat. Wanita mana yang tidak bahagia ketika suami mengajak ke taman rumah yang ia sengaja menyalakan lampu kerlap-kerlip bertuliskan 'Happy Birthday My Honey'. Perempuan mana yang tak kan senang ketika suami menyerahkan sertifikat rumah yang bertahtakan nama istrinya disana setelah selama ini tinggal di kontrakan yang kurang layak untuk pasangan pengantin baru seperti kami. Dan aku pun menangis merangkul suamiku erat. Seerat yang kubisa. Aku menyesal.
Ya, aku menyesal atas ulah bodoh yang selama ini kulakukan secara diam-diam. Di saat suami mendiamkanku, sebenarnya ia sedang merencanakan sesuatu yang indah untukku. Tapi yang kulakukan justru kebalikannya. Andai ia tahu. Tidak! Aku tak mau kehilangan suamiku tercinta hanya karena kecerobohan dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Yang membuatku gusar adalah bagaimana menghentikan Sony yang terus-menerus menghubungiku lewat medsos dan seluler. Bagaimanapun juga aku harus menghentikannya!
Maka yang kulakukan adalah menonaktifkan akun medsos agar tak dapat diakses siapapun dan memblok nomor hp lelaki itu. Namanya yang semula tertulis sebagai 'Sony' segera kuganti dengan 'Sonya'. Berbohong demi menyelamatkan keutuhan rumah tangga lebih baik selama tidak terus-menerus kulanjutkan, menurutku. Lalu menghentikan sepenuhnya tindakan yang sudah terlanjur terjadi. Sungguh, berbuat hal yang tidak baik itu lebih meresahkan dibanding kata resah itu sendiri. Kapok.
Setelah hari ulang tahunku dan hari-hari selanjutnya, rumah tangga kami kembali mesra. Hari-hari terasa lebih indah tanpa beban perasaan. Tak pernah lagi kutunggu sms maupun telepon dari Sony, apalagi chatting dengannya. Putus hubungan dengan medsos, putus hubungan dengan Sony. Tak ada lagi jejaknya sama sekali yang perlu kukhawatirkan. Aku benar-benar sudah melupakannya.
"Sayang, maafin ya atas sikapku selama ini. Kamu memang istri yang sangat sabar. Beruntung aku memilikimu." Ucap suami yang membuat jantungku berdebar kencang. Teringat kesalahan yang lebih fatal akibatnya, jika terendus olehnya. Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku yang harus berkata demikian. Tak terasa air mata pun menetes.
"Sayang, sayang, a-ada apa? Mengapa kamu menangis? Maafkan aku!" Tanya pangeranku gelagapan melihat reaksi dariku. Khawatir telah menyakiti hatiku. Ia menduga aku masih menyimpan dendam karena pernah menyakiti hatiku.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak apa-apa. Kupandangi wajah suami lekat-lekat, tak kupedulikan air mata yang semakin berlinang. Guratan halus mulai terlihat dari hasil kerja kerasnya untuk menafkahiku. Oh, suamiku. Kau bukanlah sekedar manusia biasa, melainkan malaikat penjaga yang sengaja Allah kirimkan untukku, batin ini berseru.
Kurangkul tubuh ringkih priaku seerat-eratnya. Bibir ini tak berhenti bertasbih, mensyukuri apa yang telah menjadi keputusan-Nya. Sungguh indah skenario-Nya yang masih menyayangiku dengan menutupi segala keburukan. Membuat diri ini berjanji untuk setia padanya sampai mati. Berkata dalam hati, "Tolong! jangan pernah lepaskan aku dari pelukanmu."