Mata, untuk melihat. Terlepas dari mekanisme penglihatan secara biologis, bisa melihat adalah karunia terbesar bagi seorang manusia. Melihat kedua orang tua, sanak saudara, suami dan anak-anak, pemandangan hijau, hiruk-pikuk kota, menonton televisi, makhluk hidup dan mati lainnya. Melalui mata kita mampu mengenal seseorang dan benda yang ada di sekitar. Ketika ada bahaya mengancam kita mampu menghindar, parit atau tiang mampu kita elakkan. Sekarang coba tutup mata kita, lalu rasakan betapa Allah sayang sekali pada kita.
Telinga, untuk mendengar. Ketika bangun pagi ingatkah kita suara yang pertama kali kita dengar? Masih ingatkah kita saat-saat guru menerangkan pelajaran di kelas? Atau ketika mama memanggil karena membutuhkan bantuan kita? Saat sahabat karib curhat tentang masalah yang dihadapinya, kala bayi menangis untuk pertama kalinya, ketika suara azan memanggil untuk bersujud padaNya? Apakah kita mendengarkannya?
Musim hujan tiba. Walaupun musim yang terjadi di negara kita sudah tidak jelas lagi kapan-kapannya. Flu melanda hingga bikin hidung tersumbat. Bandingkan saat kita dapat dengan mudah mencium wangi bunga-bunga di taman, aroma makanan yang mama buat, bebauan yang tidak sedap maupun sebaliknya. Terasa sekali bukan perbedaannya?
Ketika kenikmatan itu adalah pada saat bisa menentukan ini manis, itu asam, garam asin, obat pahit, maka terbayangkah oleh kita ketika apapun yang kita makan terasa hambar? Tanpa rasa. Plain. Ketika lidah sangat membantu setiap insan untuk mengungkapkan sesuatu pada orang lain dan bisa berbicara banyak hal, bagaimana jika sebaliknya?
Alangkah nikmatnya ketika kita masih mampu membedakan hawa panas maupun dingin. Merasakan merinding tiba-tiba, merasakan perih ketika teriris pisau, sakit ketika dipukul, dan kehangatan saat mama memeluk. Atau tuts keyboard laptop/PC maupun saat mengetik layar touchscreen dari gadget. Lengkap sudah.
Namun tanpa disadari, kesempurnaan yang kita rasakan dari indera tersebut menjelma menjadi comfort zone dalam diri. Kita dimanjakan oleh rasa nyaman dalam kotak kehidupan sehingga takut keluar darinya. Bagaimana dengan mereka yang punya keterbatasan? Terbayangkah oleh kita perjuangan mereka dalam mengakses informasi tentang dunia agar mereka juga paham seperti kita? Mampukah kita jika berada di posisi mereka?
Bersyukurlah pada Yang Maha Pencipta dan Kuasa karena hingga detik ini kita masih diberikan nikmat itu. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan Allah mencabut nikmatNya dari seorang hamba. Mungkin besok atau lusa, atau beberapa tahun lagi. Bahkan mungkin sebentar lagi. Tugas manusia hanya bersiap-siap saja. Kesiapan yang Allah sendiri sudah berikan di dalam kitab suciNya.
"Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS: Ar-rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar