Baru beberapa menit TV nyala, tiba-tiba seorang teman mengirim pesan BBM mengingatkan tayangan ulang talkshow di chanel MetroTV. Setelah kira-kira 30 menit berlalu, tak sengaja mata terarah pada catatan kaki ketika giliran iklan ditayangkan. JDERRR. Laksana disambar gledek, jantung serasa berhenti sesaat. Enggak percaya. Sampai-sampai nunggu lagi 'footnote' yang berjalan ke kiri itu berulang. Ternyata benar. Bapak Walikota Banda Aceh, Mawardi meninggal dunia. Innalillahi wainna ilaihi raaji'un saya ucapkan bersama suami.
Mungkin untuk rakyat Aceh yang mengenal beliau saja yang merasa kehilangan. Rekan dan sahabat-sahabat, serta sanak keluarga. Tapi ada kesan yang tak akan terlupakan oleh kami berdua walaupun kami bukan siapa-siapanya beliau. Yaitu, pada saat kami menghadiri undangan malam Australian Alumni Award sekaligus Gala Dinner di Hotel Four Seasons, Jakarta Selatan Juni 2012 silam. Beliau dinobatkan sebagai salah seorang yang inspiratif mendapat penghargaan untuk kategori Inspirational Award, selain Ibu Mari Elka Pangestu.
Sangat tidak menyangka kalau malam itu harus mendengar sambutan pertama dan terakhir dari beliau. Sambutan spektakuler dari seorang berpengaruh yang mengaku sudah lama tidak pernah lagi berbahasa Inggris. Sangat rendah hati menurut saya untuk ukuran seorang pemimpin. Ternyata, malam itu pula pertemuan sekaligus perbincangan kami untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Sampai detik ini masih teringat oleh kami detik-detik itu.
Setelah pembagian penghargaan kepada finalis dan pemenang, acara dilanjutkan dengan Gala Dinner. Saya memberanikan diri untuk menyapa Pak Mawardi yang saat itu hendak berbincang dengan Najwa Shihab. Kemungkinan terburuk sudah siap saya terima, dicuekin. Tapi diluar dugaan, ketika menyapa beliau dengan bahasa Aceh mendapat respon positif walaupun disuruh tunggu sebentar ada hal penting yang harus disampaikan ke Mba Najwa.
Sudah direspon saja senangnya bukan main, maka saya putuskan bersama suami untuk menikmati menu yang seumur-umur belum pernah dicicipi. Maklum, biasanya hidup di hutan hehe. Yang lainnya banyak yang berdiri agar bisa sambil berbincang, persis gaya orang bule. Tapi kami berdua memilih makan sambil duduk. Piringnya kepenuhan soalnya.
Tak disangka tak diduga, sosok walikota Banda Aceh tersebut menghampiri kursi kami berdua yang terletak lumayan jauh dari posisi beliau berbicara tadi. Speechless. Itulah yang saya rasakan. Sementara suami baru mengakui saat di taxi dalam perjalanan pulang. Beliau yang malah membuka pembicaraan dan banyak bertanya tentang kami secara personal. Saat itu kedekatan antara anak dan bapak lah yang terasa. Kami bukan orang yang berpengaruh, bukan elit politik, bukan pengusaha, bukan apa-apa. Hanya orang biasa. Namun Beliau begitu legowo duluan menyapa dan bisa dibilang mencari jejak kami malam itu. Sepuluh menit itu tidak terasa dan waktu yang sangat berharga bagi kami berdua. Dan ternyata Allah sudah mengatur sedemikian rupa.
Kesan itu menjadi kenangan yang sangat berarti bagi kami dan keluarga. Walaupun tidak bertemu, tapi sudah cukup mewakili dari cerita kami. Bahkan di hari yang sama ketika pemberitaan, justru orang tua kami ikut mengabarkan. Ah, andai saat itu kami berada di Banda Aceh. Seluruh upaya akan kami sempatkan untuk ziarah. Terlepas dari kesempatan yang tidak kami miliki tersebut, hanya doa yang bisa dipanjatkan semoga amal dan kebajikan yang telah beliau berikan selama membangun Aceh, khususnya Banda Aceh sejak pasca tsunami diterima oleh Allah swt.
Aamiin.
hmmm, tia baru tau kalau orangnya manteb bener kak.. soalnya ga pernah tau. semoga Allah masukkan dalam surga ya..
BalasHapusMantap x Tia. Bapak tu alumni ITB teknik mesin ternyata. Ramah x... Teringat sampe sekarang
Hapus