Terasa lain saat suami menunjukkan sms yang diterimanya pada hari Jumat lalu (7/2) ketika ia pulang dari kantor untuk makan siang.
"Iwan, Graha kondisi nenek sudah lemah sekali. Minta doanya ya".
Kubaca pesan singkat yang dikirim oleh bapak mertua dengan perasaan yang tak menentu. Benar-benar tak biasa.
Memang nenek dari suamiku yang tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat sudah lama menyandang penyakit Parkinson. Penyakit yang menyerang saraf dan sering menjangkit kaum manula. Tangan gemetar ketika digerakkan dan harus dituntun jika hendak berjalan. Tidak tahu asal-usulnya mengapa nenek Tasik tiba-tiba terserang penyakit itu. Yang jelas, setelah kami menikah nenek memang sudah sakit, namun masih mampu berjalan sendiri.
Entah sebuah kebetulan, suami diutus untuk melakukan perjalanan dinas dari kantor selama dua hari. Kamis dan Jumat (13-14/2). Berhubung tinggal di remote area, maka setiap pekerja diberikan jatah dua hari perjalanan sebelum dinas dan dua hari setelah dinas. Sehingga perjalanan dinas dimulai dari Selasa (11/2) dan berakhir pada hari Minggu (16/2). Biasanya aku memilih untuk tinggal di rumah saja. Namun kali ini, dengan perasaan tak keruan kuputuskan untuk ikut bersama bayi kami yang akan menginjak tujuh bulan.
"Abang sudah menelpon Bapak, dek."
"Loh, kan kita sudah sepakat untuk tidak menghubungi Bapak, Bang!" Kutahan emosi sebisa mungkin untuk menjaga perasaan suamiku.
"Bapak pasti marah, dek kalau kita tiba-tiba berada di Bandung. Karena kondisinya seperti ini..." wajah suamiku mengiba, membuatku tak tega.
"Tapi Bang..." belum sempat kulanjutkan, suami segera memotong.
"Abang harus ke lapangan sekarang, dek. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati ya Bang!" kujawab dengan perasaan jengkel yang kupendam.
Terngiang kembali isi sms dari Bapak mertua.
"Iwan, Graha kondisi nenek sudah lemah sekali. Minta doanya ya."
Kabar tentang kondisi nenek yang drop sudah kami dengar beberapa hari lalu dari ibu mertua via hp. Sudah beberapa hari Mamah di Tasik untuk merawat ibunya (nenek), meninggalkan bapak mertua bersama Ganang, adik iparku. Sejak terkena serangan jantung akhir 2012 lalu, Bapak memang lebih khawatir jika hendak bepergian jauh. Namun sms itu, jelas sekali kalau Bapak juga berada disana dan menyaksikan langsung keadaan nenek. Ini artinya kondisi nenek sangat serius.
Selasa pagi (11/2) kami bertiga tiba di Bandara Husein, Bandung dengan selamat. Sementara suami menunggu bagasi, aku bersama Nai menantinya di cafe depan bandara. Lumayan, Nai bisa menikmati menu sarapannya dengan santai. Tidak lama kemudian kulihat suami menghampiri kami dengan bagasi.
"Dek, Bapak dan Mamah sudah dalam perjalanan ke Bandung rupanya."
Kulihat wajah segan suami saat bicara karena ia tahu aku akan marah.
"Tuh, kan adek bilang apa! Seharusnya Abang enggak perlu mengabarkan rencana kita ke Bandung. Biar kita yang melanjutkan perjalanan ke Tasik, Bang! Mereka bisa menunggu disana..." suaraku sedikit tinggi karena dugaanku ternyata benar. Moodku tiba-tiba kacau. Bisa-bisanya suami mengubah rencana tanpa kompromi terlebih dahulu.
Suami memutuskan untuk memanggil taxi mengantarkan kami ke rumahnya di Panghegar, Bandung. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Kesal dengan keputusan suami yang tidak pikir panjang.
"Dek..." benteng kesabarannya luluh lantak, suamipun memulai pembicaraan.
"Ya..." kujawab singkat tanpa melihatnya.
"Abang kasian aja sama Nai. Dia masih terlalu kecil untuk perjalanan jauh."
"Bang! Nenek belum pernah melihat Nai sejak lahir. Sudah sering nenek bilang agar membawanya ke Tasik. Ini kesempatan kita untuk mewujudkan keinginan beliau, Bang! Kita enggak pernah tahu umur seseorang. Setidaknya beliau sudah melihat cicit pertamanya sekali saja!" kali ini aku berkata tegas, entahlah aku juga heran dengan ke-ngotot-anku. Tapi sungguh, ini datang dari dalam sanubariku.
"Abang apa enggak ingat, yang mengasuh Abang saat bayi itu nenek. Bapak sendiri yang bilang, pas Abang diare dititipkan ke nenek sampai Abang sembuh. Bahkan lama disana."
"Tapi Mamah bilang nenek biasa kayak gitu, dek."
"Enggak ada alasan untuk Abang enggak ke Tasik. Titik!"
Tak kuhiraukan sopir taxi mendengarkan pembicaraan kami. Suasana yang ada hening. Kalau kondisi Naira yang ia khawatirkan, itu hanyalah excuse agar bisa lebih lama menghabiskan waktunya di Bandung. Padahal ia sendiri tahu bagaimana track record Nai selama ini dalam hal traveling. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apalagi Bandung-Tasikmalaya hanya tiga jam dengan jalur darat. Tidak lebih lama jika dibandingkan perjalanan panjang dari Sangatta-Balikpapan hingga 8 jam. Jalannya bahkan jauh lebih buruk dan berkelok-kelok.
Setiba di Panghegar, tepat saat taxi kami berhenti terlihat Mamah dan Bapak mertua sama-sama turun dari ojek. Artinya, mereka sudah naik bis sejak kami boarding dari Balikpapan. Ah, andai saja...
***
Alhamdulillah suami memutuskan untuk berangkat menjenguk nenek ke Tasik sore itu juga. Tentunya setelah aku mendesaknya di hadapan mertua. Tapi Mamah dan Bapak melarangku untuk ikut bersamanya. Dengan terpaksa, aku mengiyakan. Takut kualat melawan mertua. Setidaknya suami sempat melihat kondisi nenek sebelum dinas ke Cikampek selama dua hari. Sebelum terlambat.
Kuraih hp yang tak jauh dari jangkauan, sembari mendampingi Naira yang sudah tertidur. Kecapaian. Pesan bbm masuk.
Suami: Dek, Abang udah di rumah nenek
Aku: Alhamdulillaah. Gimana nenek bang?
Suami: Pas Abang baru sampai, nenek langsung nanya Nai, Dek
Aku: Tuh, kan!
Suami: Nenek udah lumayan tenang kata sodara-sodara. Sebelumnya ngelindur terus. Trus sempat juga tadi nunjukin video Nai. Nenek takzim melihatnya
Aku: Nenek ingin ketemu sama Abang dan Nai. Adek yakin sekali. Makanya sekarang nenek lebih tenang.
Lima menit. Sepuluh menit bbm tidak berbalas. Tiba-tiba, hpku bergetar. Suami meneleponku.
"Assalamualaikum, Bang."
"Waalaikumsalam, Dek. Nai udah bobo?"
"Udah, Bang. Baru aja. Gimana nenek, Bang?"
"Telinga nenek berdarah, Dek! Kayaknya digigit semut. Tapi udah dibersihkan, sih. Bantal dan sprei juga udah diganti. Sekarang nenek udah tidur pulas."
"Bawa aja ke rumah sakit, Bang. Takut kenapa-napa. Kasian nenek, pasti tersiksa!"
"Enggak apa-apa, Dek. Lagian nenek udah tertidur pulas. Oya, besok pagi Abang pulang ke Bandung. Abang dijemput pukul 5 sore dari rumah untuk dinas ke Cikampek."
"Yaudah Abang istirahat ya. Salamualaikum. Salam buat nenek ya Bang!"
***
Pukul tiga sore hari Rabu suami tiba di rumah. Membayangkan perjalanannya saja terasa sangat melelahkan. Ada perasaan lega aku dan Nai tidak ikut ke Tasik. Namun tetap saja hati ini merasakan ada yang kurang. Setelah makan siang, suami menceritakan lagi pada orang tuanya tentang nenek. Tidak sempat beristirahat, suamipun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke Cikampek.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4.30 sore. Kumanfaatkan setengah jam sisa waktu tersebut untuk mandi dan shalat Ashar sebelum suamiku dijemput. Sementara Naira sudah berpindah tangan ke Bapak mertua sejak selesai kukenakan ia pakaian.
Belum juga salam, kudengar suami menelepon paman di Tasik perihal kondisi nenek. Konsentrasi detik-detik hendak salamku buyar. Pikiranku sudah tidak-tidak. Setelah salam, kulipat mukena parasutku sekenanya. Kuserbu suami yang terlihat mondar-mandir di ruang tamu sambil menelepon. Bapak dan ibu mertua juga terlihat sibuk dengan mimik wajah yang tampak tegang. Pikiranku liar, namun tak ingin kuungkapkan. Tak sabar kutanya suami tentang yang sebenarnya.
"Ada apa, Bang?" suami belum menjawab, Mamah langsung memotong.
"Mamah sama Bapak disuruh ke Tasik sekarang juga, Teh. Kayaknya nenek juga udah enggak ada."
Ya Allah, tak tahu lagi bagaimana perasaanku mendengar kata-kata ibu mertua. Beliau dengan tenang menjawab seperti sudah begitu siap dan ikhlas.
"Teteh sama Nai ikut, Mah! Setidaknya keluarga Tasik bertemu Nai."
"Enggak usah, Teh! Mamah sama Bapak naik bis. Biar aja Teteh tinggal di rumah sama Ganang. Bentar lagi pulang dari kampus. Riweuh bawa bayi, kasiaan!"
Diluar dugaan justru Bapak mengizinkan.
"Udah, enggak apa-apa lah. Teteh ikut aja sama Nai."
Tanpa ba-bi-bu kukemas semua peralatan Nai dan beberapa pakaianku dalam satu tas. Tak lupa Al-Quran saku kuikutsertakan di dalamnya. Untungnya suami memohon bantuan rekan kerja yang hendak menjemputnya ke Cikampek untuk mengantarkan kami ke terminal bis terdekat jurusan Tasikmalaya. Syukurlah mereka memenuhi keinginan kami. Sebenarnya aku sudah meminta suami untuk menggunakan mobil rental atau mencari sopir untuk mobil Bapak menuju rumah nenek. Namun Mamah tidak setuju, tetap bersikeras dengan pendapatnya. Sepanjang jalan ke pool bis kami lebih banyak diam. Cemas. Khawatir.
Tiba di terminal, bis masih kosong. Sepertinya kami harus menunggu beberapa jam lagi untuk berangkat. Terus terang aku kesal. Lebih karena asap rokok yang dengan seenaknya disembur oleh salah satu calon penumpang yang duduk agak jauh dari posisiku dan Mamah di ruang tunggu. Kuputuskan untuk keluar dari situ. Aku tidak mau asap rokok dihirup oleh Nai. Apa dia tidak tahu akibat dari asap rokok jika dihirup Nai? Apa dia mau menanggung biaya rumah sakit jika Nai dirawat gara-gara terhisap asap rokoknya? Ah, pikiranku kacau sudah.
Yang terjadi selanjutnya sungguh mencengangkan. Aku yang baru saja tenang sambil menggendong buah hati di depan musholla kebingungan. Tidak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah semua terburu-buru dan panik setengah mati, setelah kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti hati, mendadak berubah 180 derajat. Tiba-tiba saja suami memanggil menyuruh masuk mobil kembali.
"Ada apa ini? Kenapa pulang lagi?" tanyaku dengan ekspresi tak mengerti. Terdengar Mamah berbicara cepat sekali dalam bahasa Sunda yang sulit kumengerti terjemahannya. Lalu disambut tawa oleh Bapak dan Mamah yang membuatku semakin tak waras. Kenapa sekarang jadi tertawa? Belum terjawab rasa penasaran ini, kuikuti saja perintah suami untuk masuk mobil.
"Kenapa koq pada ketawa, sih?" tanyaku pada suami.
"Mamah salah baca sms, Dek!" jawabnya disertai seringai tawa. Aku tersenyum masih tak mengerti. Kuarahkan pandangan ke Mamah yang salah tingkah.
"Iya Teh, tadi pas lagi duduk di ruang tunggu bis Mamah buka lagi hp. Lihat sms tadi ternyata itu sms tanggal 7 Februari kemarin. Trus Mamah telepon Mang Uden, eh katanya nenek baik-baik aja."
"Tapi kan Abang juga udah langsung nelpon ke Tasik sebelum berangkat ke terminal tadi? Katanya gimana?" kualihkan pandangan ke arah suami meminta klarifikasi.
"Memang tadi katanya nenek udah dipasang Oksigen sama bidan depan rumah. Sempat terasa sesak katanya."
Karena situasi menjadi riuh di mobil, akupun jadi tertawa. Bahkan sambil bercanda mengingat kecemasan dan rencanaku mendesak suami untuk menyewa mobil.
"Coba tadi pake mobil rental, harus bayar cancellation feenya kan! Haha Bapak sih enggak periksa dulu smsnya!" kini Mamah yang menyalahkan Bapak karena tidak ikut mengecek sms dengan teliti.
"Loh, koq jadi Bapak yang disalahkan? Kan Mamah yang baca smsnya! Lagian harusnya kalau ada sms pasti bunyi. Tadi bunyi, enggak?" todong Bapak tidak mau kalah.
"Iya ya, tadi sih Mamah lagi hapus-hapusin sms lama. Trus kebaca sms itu. Langsung tunjukin ke Bapak!"
Sumpah! Tawaku meledak seketika. Juga semua yang ada di mobil. Tidak enak juga karena sudah merepotkan rekan suamiku. Sepanjang perjalanan ke rumah yang ada hanya tertawa penuh canda. Belum lagi suami yang memberi saran gila untuk melanjutkan saja perjalanan ke Tasik karena terlanjur malu sudah pamitan sama tetangga.
Benar saja, tetangga terheran-heran karena baru satu jam kami sudah kembali lagi. Berhubung maghrib tiba, suami memutuskan untuk berangkat setelah shalat. Biar rekan kerjanya juga bisa istirahat dan menghangatkan tubuh dengan teh hangat. Pakaian basah Nai kujemur kembali di belakang. Kebetulan Ganang juga baru saja pulang dari kampus. Ia terperanjat juga dan bingung. Suami menceritakan kembali kronologisnya pada sang adik hingga ia mengerti. Lalu aku shalat maghrib.
Saat hendak membongkar kembali barang bawaan, saat suami baru saja pulang dari mesjid, hp suami berdering. Suami berbicara dengan bahasa Sunda. Percakapan yang sangat singkat karena ia hanya menjawab "terima kasih."
"Bang, ada apa?"
"Nenek udah meninggal, Dek! Baru saja. Mah, yang tabah ya!"
Bagai halilintar, ucapan suami begitu menggelegar di telinga. Detik itu juga Bapak memeluk Mamah ikut bersedih. Ganang yang tertunduk lalu menghubungi Graha yang bekerja di Cilegon, adik iparku. Sementara aku? Aku langsung terduduk di kursi yang memang tepat berada di belakangku. Seandainya kursi itu tak ada, dapat dipastikan aku tersungkur lunglai. Tubuh tiba-tiba terasa layu. Butiran bening itu cepat sekali keluar dari mataku. Seketika itu pula tangisku pecah. Suami menenangkanku. Aku yakin ia tahu sekali maksud dari tangisku. Kuraih Nai dari tangan Ganang. Kupeluk dan kuciumi ia sambil menangis. Lalu kukatakan,"Buyut tidak sempat ketemu sama Nai..." Tidak akan pernah. Bahkan cicit pertamanya sekalipun!
Dari kejadian ini, aku belajar beberapa hal. Jangan menunda-nunda untuk berbuat kebaikan. Terutama silaturrahim. Terakhir kali aku bertemu nenek sebelum hamil dan itu hampir dua tahun yang lalu. Saat hamil beliau ingin sekali melihat kehamilanku. Dan yang sangat kusesali adalah sebelum Nai kami bawa ke Kalimantan, kami habiskan satu minggu hanya di Bandung saja. Padahal nenek ingin sekali melihat cicit pertamanya.
Kedua, jangan pernah tertawa di saat ada saudara atau teman yang sakit. Boleh jadi saat kita tertawa sebenarnya malaikat sedang bekerja menunaikan tugasnya dari perintah Allah.
Begitulah skenario Allah. Semua telah tercatat di Lauh Mahfudz. Manusia hanya melakonkan saja namun Allah yang Maha Berkehendak. Memasrahkan segalanya padaNya dan menjalankan semua perintahNya.
Semoga arwah nenek diterima oleh Allah swt. Dari sekian sanak famili yang menjaga nenek, tak mereka sadari sakratul mautnya hingga akhir hayat tiba. Semoga khusnul khatimah. Aamiin.