Jumat, 17 Januari 2014

ABANG SALAH, DEK

Seperti biasa, tiap lebaran Idul Fitri umat muslim melakukan silaturrahim. Ada yang berkumpul bersama keluarga, ada pula yang berkunjung ke tetangga. Kebetulan aku dan suami hidup merantau di negeri orang. Atasan suami juga memberi mandat untuk standby, sah lah lebaran kali ini dirayakan tidak bersama keluarga tercinta. Hiks.

Malam lebaran

Suara takbir dikumandangkan. Puasa pun berakhir dan zakat fitrah telah lunas dibayar. Tapi masih ada yang kurang lengkap, pengantin baru harus menikmati lebaran di kampung orang. Setelah shalat isya, suami mengajakku duduk di teras sambil menunggu rombongan anak kecil dan remaja mesjid berkeliling sambil membawa obor. 

"Dek, sedih ya lebaran disini?" Tanya suamiku memastikan gurat senyum yang terlihat kupaksa.
"Enggak bang, asal dekat abang adek udah bahagia koq."

Malam takbiran semakin syahdu diiringi suara lantang mengumandangkan takbir oleh anak-anak. Kami berdua hanya bisa menatap dari kejauhan. Sengaja lampu teras tidak kami nyalakan. Bukan untuk menambah suasana jadi romantis, melainkan supaya bisa berpelukan ala Teletubbies. Tanpa terasa, air mata menetes dan kami berdua pun menangis. 

Lebaran Telah Tiba

Setelah menunaikan shalat sunah Idul Fitri, kami pun melahap bersama ketupat dan opor ayam yang telah kusiapkan sejak dua hari lalu. Itu pun sudah dua kali habis sebelum lebaran tiba. Maklum, sebelum menikah suamiku belum pernah mencicipi hidangan spesial seperti masakanku. 

Setelah kenyang, kami berdua bersilaturrahim ke rumah tetangga yang juga teman-teman rekan kerja suamiku. Ciut nyali melihat aneka hidangan untuk para tamu. Ada lebih dari lima jenis makanan yang disiapkan. Belum lagi kue kering yang berbeda-beda dalam tiap toplesnya. Semuanya dilakukan sendiri alias tidak beli dan disuguhkan secara gratis untuk para tamu. Inilah asyiknya jika lebaran tiba.  Makan gratis siang dan malam. 

Lalu suami mengajakku ke rumah Solihin. Dia adalah supir pak bos sekaligus teman dekat suami. Kami berjalan kaki. Tidak mau kalah sama truk, suami menarik tanganku untuk bergandengan. Lalu pandangannya tertuju pada rumah yang tepat berada di sebelah kiri kami. 

"Hei, Solihin. Selamat Idul Fitri ya," kini lelakiku melangkah ke arah temannya yang memang berada di dalam rumah. Aku menguntit saja. 
"Eh, mas Purwa. Selamat Idul Fitri juga, mas," balas Solihin yang masih dalam posisi duduk enggan berdiri. 

Suami pun melangkah ke rumah panggung itu dan aku mengekorinya. Konstruksi rumahnya berupa kayu ulin yang merupakan khas Kalimantan. Belum dipersilakan, kami berdua sudah duduk duluan. Mereka berdua berbincang-bincang mengambil posisi di ruang televisi, sementara aku hanya nyengir saja sambil duduk manis sendirian. 

Terlihat ramai sekali di rumah itu. Mereka semua berkumpul di dapur yang berada tepat di depanku. Lalu seorang ibu separuh baya membawakan minum. 

"Diminum mba, mas airnya," 
"Terima kasih bu, enggak usah repot-repot," sahutku sambil menyentuh pegangan cangkir dan menyeruput teh pelan-pelan. 

Belum habis teh kuminum, tiba-tiba suami mengajak pulang. Beliau memberi kode kedipan mata dan mengembangkempiskan hidung. Padahal belum juga sepuluh menit bertamu. Kami berdua pun bangkit dari duduk mengambil posisi berdiri, siap untuk pergi.

"Terima kasih banyak, bu. Permisi. Solihin, pamit ya!"
"Loh, mas koq buru-buru," si ibu terheran-heran melihat reaksi kami yang tiba-tiba saja pamit pulang. 
"Iya bu, mau ke kota ada perlu," sahut suami sekenanya. 

Kami pun melangkah pulang. Tercium keanehan olehku dari sorot mata suami yang tidak seperti biasanya. Karena penasaran kutanya sang suami. 

"Bang, tadi itu kita bertamu di rumah siapa sih?"
"Abang salah masuk dek, abang kira itu rumah Solihin. Ternyata dia cuma numpang duduk aja disitu."

Wakwaw... 

Dasar Solihin >,<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar