Senin, 27 Januari 2014

Pesan Gadis Berjilbab Merah Muda

Aku melangkah gontai diantara kerumunan sore itu. Sore di mana orang-orang melepas kepenatan mereka setelah seharian bekerja demi sesuap nasi. Salah satu dari mereka adalah aku, seorang pegawai kontrak yang masih terus berjuang mengundi nasib di tengah kejamnya ibu kota. 

Berbekal materi seadanya, selembar ijazah serta berkas-berkas pendukung lainnya, kuputuskan jauh-jauh dari kampung untuk mencari peruntungan di Jakarta. Beberapa bulan sebatang kara melanglang buana di tanah Betawi. Entah berapa banyak surat lamaran kerja sudah kulayangkan ke berbagai macam perusahaan. Hingga akhirnya aku diterima kerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa, tetapi dengan satu syarat. Aku harus LULUS masa uji coba selama enam bulan dengan gaji dibawah standar. Kubesarkan hati ini untuk menjalani semua dengan sabar bersama tanda tanya besar yang mengganjal di hati. Akankah masa trainingku berakhir dengan senyum atau luka awal bulan depan? 

Kusandarkan tubuhku perlahan ke dinding tempat tunggu busway di kawasan Harmoni. Berusaha meluruskan tulang punggung yang terasa kaku serta sendi-sendi yang nyaris remuk redam. Tak kuhiraukan hiruk pikuk lalu lalang para calon penumpang armada tersebut. Karena tak kan ada yang peduli satu sama lain. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Hidup di Jakarta itu keras, batinku menggumam. Hanya orang-orang yang lolos seleksi alam yang akan mampu bertahan, tambahku. 

Ah, beginilah efek saat menghadapi weekend. Aku yakin sekali mereka yang rela berebutan naik angkutan umum merasakan hal yang kurasa saat ini. Buktinya, tak seorang pun kulihat dari mereka yang berwajah sumringah. Hanya sesekali terlihat helaan nafas karena mengejar waktu di saat matahari buru-buru pergi, enggan bertemu bulan. Tapi, tunggu dulu. Siapa wanita itu?
***
Biasanya mudah sekali untuk memejamkan mata. Hanya beberapa menit saja setelah kurebahkan raga ini di atas kasur kapuk lusuh, dengkuran maha dahsyat pun membahana hingga kamar sebelah. Apalagi jika sudah berpelukan dengan guling tua kesayangan, sudah barang tentu tak terdengar lagi suara-suara ketukan dari berbagai penjuru dunia perkontrakan. Setidaknya itu fakta yang kudengar dari tetangga kosan. 

Tapi tidak untuk malam ini. Sosok wanita berjilbab merah muda tadi terus memblokade setiap jalur pikiranku. Gayanya berbusana memutar kembali memori saat masih mengenyam bangku SMP, di mana majalah An-nida kerap menjadi santapan tiap kali terbit. Berbeda sekali dengan busana yang kukenakan, walau masih sopan tapi aurat kepala masih menganga. Usianya mungkin sepantaran dan perawakan kami tidak jauh berbeda semampainya (red; semeter tak sampai). Yang mencuri perhatian adalah buku kecil berwarna hijau tua yang digenggamnya. Bahkan ukurannya lebih kecil dari yang pernah kulihat seumur-umur. 

Gadis itu berbeda sekali. Tak penatkah ia hidup di kota megapolitan seperti ini? Tidak sepantasnya dia berada disini. Wajahnya yang memancarkan sinar optimis mengarungi detik demi detik hidupnya sangat kontras dengan kenyataan yang sedang kuhadapi seorang diri. Senyum tipis disunggingkan di setiap langkahnya hingga gadis itu memutuskan untuk berdiri tepat di sebelahku. Sungguh mengejutkan. 

"Assalamu'alaikum Ukhti," suara lembut itu menyapa membuyarkan sejuta lamunanku akan sanak keluarga di kampung. 

"Eh..., hmm... Wa'alaikumsalam," deg. Hatiku tiba-tiba berdebar. Sungguh aneh, jaman edan begini masih ada yang mau mengucapkan salam untuk yang sama sekali belum dikenalnya. Pakaian yang dikenakannya juga sangat jauh dari kata modis. Sungguh sederhana. Sangat tidak relevan untuk gaya hidup di kota besar seperti Jakarta ini, pikirku. Kalau masih tinggal di kampung sih sah-sah saja berpakaian seperti itu. Anehnya, koq dia gak minder ya?

"Ukhti, maaf kalau kiranya saya membuat Ukhti terganggu dengan tilawah saya di tempat umum begini..." 

Apa? Dia menyebutku apa tadi? Ukhti???

"Silakan, mba sama sekali tidak," jawabku singkat dengan raut wajah yang kubuat sedatar mungkin walau hatiku amat bingung. Tangannya memegang mushaf mungil yang diarahkan ke depan dadanya, sembari membuka lembaran ayat-ayat suci ke halaman tertentu. Aku masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kualami detik ini. Seperti mimpi. Gadis pemegang mushaf mulai melantunkan bacaannya. Seketika itu pula flashback masa kanak-kanak saat aku ingin ayah selalu mengantarku ke TPA muncul begitu saja.

"Enggak mau ngaji kalau enggak ayah anterin..." bayanganku di masa kanak-kanak seolah nyata di hadapanku. 

"Hmmm... Masa harus dianterin Ayah terus, nak?" tatapan teduh dan senyuman Ayah hingga kini masih tetap sama, hanya saja kerutan di wajahnya tak sebanyak sekarang. Aku ngambek hingga Ayah pun mengalah, "iya deh, Ayah anterin lagi hari ini, besok, dan seterusnya ya."
Seperti nyata, sampai aku menggerakkan tangan kananku ingin menyentuh wajahnya. 

Tersadar bahwa itu lamunan semata, segera kuluruskan tangan ke samping tubuhku. Tapi anehnya, aku merasa seperti ada yang tercekat di tenggorokan. Kutelan ia secepat mungkin, berharap gemuruh di dadaku mereda. Terlintas oleh ucapannya yang memanggilku 'Ukhti', seolah jauh sekali dari kata pantas untuk kusandang. Aku merasa ditampar akan keberadaannya. Kehadirannya mengundang sejuta lamunan masa laluku dan itu sudah cukup mengiris kalbu. 

Fa biayyi aalaa irabbikumaa tukadzdzibaan.

Ayat yang diulang hingga 32 kali ini dalam surat Ar-rahman sesekali terdengar olehku di sela-sela lamunan. Ces... Seperti ada aliran yang menyengat dalam dada. Kucoba ingat kembali terjemahannya. 

'Dan nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?'

Dalam diam aku beristighfar. Tanpa sadar gemuruh di dada membuncah. Kian lama kian sesak, ibarat lava yang siap menyemburkan segala isi perutnya untuk keluar. 
***
Di ruang 3 x 3 meter persegi ini aku duduk mematung. Kulingkarkan tangan ke betis hingga dengan mudah kudekap kening pada lutut kurusku. Bening itu perlahan mengumpul di pelupuk mata, menunggu kapasitas yang cukup untuk tumpah. Perih sekali. 

Bayangan kedua orang tua yang sudah renta tak mampu kutepis. Teringat betapa bangganya ibu mengabarkan sanak famili tentang keberadaanku di Jakarta, dengan alasan bekerja di kantoran. Juga Ayah, yang rela mengorbankan lebih dari separuh gaji pensiunnya selama ini, demi kelancaran hidupku di ibu kota sebelum perusahaan mencabut status kontrak dan menyandangkan status baru padaku sebagai karyawan tetap. 

Kini bening itu tak terbendung. Tetes demi tetes tumpah ruah membasahi pipi. Isak tangis tak tertahankan, hingga bayangan muslimah tadi muncul lagi. 

"Manusia itu kebanyakan kurang bersyukur, Ukh. Padahal Allah sudah janji di Al-Qur'an bahwa rejeki tiap orang itu dijamin sepenuhnya oleh Allah," ucapnya tanpa menghiraukan akan didengar atau tidak. Sementara mushaf dari genggamannya telah berpindah entah kemana, karena tak terlihat lagi di kedua tangannya. Lalu gadis itu melanjutkan, "bahkan seekor cicak saja makanannya berupa serangga yang bisa terbang." 
Ia benar. Semua ucapannya menghipnotisku untuk mengangguk, memaksa diri untuk berfikir. Mengapa semua ucapannya begitu mengusik jiwa?

Belum reda tangisan, ia membuatku semakin malu pada diri sendiri. Sudah begitu sering aku menyusahkan kedua orang yang telah merawatku dengan kasih sayang dan tangan mereka sendiri. Sementara aku? Apa yang dapat kuberikan pada mereka? Di mana aku saat mereka butuhkan? Bahkan di usiaku saat ini sudah tidak sepantasnya lagi 'mengemis' pada orang tua. Malah sebaliknya, harusnya aku tau diri untuk bersedekah pada mereka. Setidaknya, mengurangi beban kedua orang tua. Tangisku pecah. 

"Ukhti, Allah menciptakan makhluk itu bukan tanpa tujuan. Tapi untuk menyembahNya. Dunia ini fana, akhirat lah yang abadi. Disana pula nanti seluruh makhluk kembali pada RabbNya, untuk diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia," kata-katanya bak petir yang memekakkan telinga dan menembus relung hati terdalam. 

Seketika kualitas ibadah yang selama ini kutinggalkan begitu saja menghantui pikiran. Jangankan mengaji, shalat pun kuanggap angin lalu. Belum lagi maksiat-maksiat yang telah kulakukan, terutama sejak berada di ibu kota. Kerudung yang kerap kupakai perlahan kulepas karena takut tidak diterima bekerja. Shalat kutinggalkan demi kepentingan duniawi semata. Al-Qur'an pemberian ayah hanya menjadi hiasan yang kubiarkan saja di atas meja. Nyaris tak pernah tersentuh. Kututup mataku kuat-kuat sembari larut dalam tangisan yang makin menjadi. Ya Allah, akankah Kau terima taubat hamba yang hina ini?

"Tapi Ukh, Allah itu Maha Pengampun. Ia selalu menantikan tangan-tangan yang menengadah menyebut namaNya, terutama di sepertiga malam. Allah selalu merindukan tangis-tangis rindu padaNya. Yang menyerahkan diri sepenuhnya untuk menjadi abdiNya."

Ah, benarkah? Tapi, apakah masih mungkin ada secercah harapan, sementara dosaku sudah menggunung? Aku bahkan lupa apa itu dosa. Astaghfirullaah...

Bukan sekali dua aku menipu orang tua demi tambahan uang saku agar Rendi, sang pujaan tidak berpaling ke lain hati. Kerap kali Rendi memanfaatkanku sebagai pelayannya, sekaligus bank saat ia kehabisan uang. Bodohnya lagi, aku malah takut kehilangan jika diputusi olehnya. Ampuni aku Tuhan. Betapa durhakanya diriku pada ibu dan ayah disana. Mungkin saat ini mereka mengkhawatirkanku dan tak bosan-bosannya selalu mengirim doa pada Allah agar terhindar dari mara bahaya, namun aku? Hampir tak pernah lagi mengabari mereka tentang keadaanku hanya karena mengurusi lelaki tak tahu diuntung itu. Tangisku semakin kuat hingga sesenggukan. Ya Allah, aku rindu ibu dan ayah disana. Aku ingin memeluk mereka saat ini. 

Pertemuan kami berakhir saat ia mengakhiri pembicaraan. 

"Ukhti Sinta, sesungguhnya ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Sementara murka Allah terletak pada kemurkaan orang tua. Berbuat baiklah selagi mereka masih ada, Ukh. Assalamu'alaikum."
Belum sempat kujawab salam bahkan menanyakan darimana tahu namaku, tiba-tiba saja ia pergi dan seketika itu pula menghilang. Kemana perginya? Siapa dia? Aku gusar ditinggal dalam kebingungan. Kutanyai yang berada di sekelilingku, namun mereka hanya diam. Lalu menghindar dariku. Aku tak tahan lagi, kepala ini rasanya mau pecah dan tiba-tiba saja langkahku tak keruan hingga sempoyongan sementara yang mengantri busway membelah antrian hingga aku berada paling depan. Hingga tak sadar badanku oleng ke bawah. Dan tiba-tiba taxi dengan kecepatan tinggi itu melaju tepat di hadapanku dan....

ALLAAAHUAKBAR

Aku tersentak terbangun dari tidur dengan nafas yang terengah-engah serta debaran jantung yang sangat kencang. Ternyata semua hanya mimpi. Syukurlah. Kulihat diriku masih berseragam lengkap dengan sepatu yang tak sempat kulepas. Kusentuh lembut pipiku, ada air mata. Aku benar-benar menangis hingga terbawa ke alam nyata. 

Jarum jam dinding tepat di angka 12. Belum terlambat untuk memulai lagi dari awal, batinku. Tak  mampu menafikkan bahwa gadis berjilbab merah muda tadi datang menjadi bunga tidurku tanpa alasan. Siapapun dia, itu adalah teguran buatku. 

Hidayah itu hanya datang pada orang-orang yang mau mencarinya. Berubah lebih baik, dimulai dari sekarang atau tidak sama sekali adalah pilihan kita masing-masing. 

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar