Kamis, 30 Januari 2014

Menanti Ayah

Beginilah resiko jadi istri yang suaminya kerja lapangan. Maklum, suami bekerja di salah satu perusahaan minyak dan gas di Indonesia. Kebetulan dari awal training hingga penempatan di Sangatta, Kalimantan Timur dan masih hingga saat ini. 

Sejak tadi sore memang udah banyak yang calling suami ke hpnya maupun yang langsung datang ke rumah dinas kami membicarakan tentang program kerja. Suami juga bilang ke aku bahwa malam nanti akan ada cementing alias nyemen. Sebagai Supervisor di lapangan, mau gak mau suami wajib hadir saat program dijalankan. Walaupun dengan begitu harus mengorbankan kebersamaannya dengan keluarga. Namanya amanah, tanggung jawab besar, jadi kudu diprioritaskan. 

Kata suami sih, cementing itu paling cepat 2 jam pengerjaannya. Tapi kalo ada trouble di lapangan, bisa sampai 6 jam baru selesai. Lama banget memang, pernah suami tu berangkat pukul 9 pm baru pulang pukul 2 am. Hiks... Kasian banget harus begadang dia saat itu di lapangan. Kegiatan kayak gini gak tiap hari sih. Jarang banget. Dalam setahun paling 10x kayaknya selama aku tinggal di rumah dinas. Selebihnya, suami selalu pulang sore seperti biasa. 

Suamiku, hati-hati di lapangannya ya... Mudah2an selamat kru semuanya tanpa kendala apapun disana. Selamat bertugas ayaaah... 

We Love You mmmuuuaaach


Perjuangan Bayiku

Lucu sekali melihat bayi. Sosok kecil, imut nan menggemaskan tak membuat bosan mata memandang. Coba tengok bayi Nairaku. Kulit yang bersih, hidung bangir, pipinya yang tembem sampai-sampai hampir tumpah. Kalau ia menundukkan sebagian wajahnya, seketika itu pula pipi seperti menelan hidungnya. Saking 'chubby'nya tu pipi. Apalagi jika ia tersenyum, aduhai mampu menghipnotis siapa saja untuk terus menatapnya. Ah, Naira. 

Belum lagi pahanya yang menampakkan beberapa lipatan dan betis bak pemain bola. Otot yang mengisi tulangnya pun sungguh padat dan gempal, yang membuat sang ayah selalu mengeluh pegal tiap menggendongnya agak lama. Sudah enam bulan rupanya kau hirup udara Allah, nak. 

Tadi mama tertawa melihat tingkahmu, nak. Ketika kau asyik memainkan bagian atas (penutup) kotak yang melindungi lipglos mama, yang bentuknya segi empat bermotif bintang warna-warni. Mungkin corak tutup kotak itulah yang membuatmu tertarik dan memutuskan untuk menggenggamnya. Sengaja kulakukan agar kau bisa mengenal banyak benda di sekitarmu. 

Memang saat mama sodorkan itu, kau tak langsung mengambilnya. Dengan mimik serius kau perhatikan dengan seksama seperti memastikan bahwa benda di hadapanmu cukup menarik untuk dimainkan. Akhirnya, setelah kau menimbang, menilai dan memutuskan, kini tangan mungil itu berpindah arah dan menggenggam sebagian kotak yang terpisah. 

Posisimu tengkurap saat memulai bermain dengannya. Jemari mungil tapi buntal itu meraba benda yang baru kali ini ia terima. Tangan kanan sibuk memreteli, sementara tangan kiri lebih kau percayakan untuk menopang bobot tubuhmu. Sesekali engkau ganti peran kedua tanganmu, agar adil mungkin. 

Tutup kotak yang keras dan tebal itu mulai berputar, lalu terbalik, berganti arah, tapi seolah pasrah saja mau diapakan juga oleh putriku. Bayi Naira tampak semakin penasaran. Ia menekuk lutut kanannya namun tangan tetap enggan menghentikan aktivitasnya. Tangan kirinya kini mengibaskan benda baru itu 90 derajat dari posisi awal. Bagian tubuh lainnya mengikuti arah benda tersebut berpindah. 

Tak berhenti sampai disitu, bayi Naira mulai menggenggam erat dan secara perlahan coba tuk memasukkan benda segi empat itu ke mulutnya. Tak berhasil. Terlalu kecil mulut bayi Naira untuk menampungnya. Yang ada malah saliva meluber kemana-mana. Lalu penutup itu diletakkannya ke lantai, diperhatikannya lagi. Kali ini hanya sebentar, lalu dimasukkan lagi untuk digigitnya. Tak bisa juga. Nairaku berjuang. 

Hampir putus asa, ia pun merengek. Naira mencondongkan punggung dan kepalanya ke belakang hingga posisi tubuh jatuh terlentang. Sementara tangan kanannya masih menggenggam tutup kotak pelindung lipglos. Sepertinya ia masih belum sadar dengan genggamannya. Karena bayi Naira menangis manja merasa tak berhasil dengan usahanya. Tapi kemudian ia langsung terdiam ketika dilihatnya setengah kotak segi empat itu berada di tangannya. 

Pemandangan yang menarik buatku dan sayang untuk dilewatkan. Begitulah cara ia belajar mengenali apa yang dilihatnya. Menstimulus daya kerja otak, sensorik dan motoriknya untuk membantu 'perjuangan' dan perkembangannya.


Nyaris Gak Pernah Nonton TV

Semenjak punya anak, entah kenapa jadi males kalo mau nonton tv. Jangankan nonton, nyalainnya aja gak ingat. Entah lah, kirain cuma aku aja. Ternyata suami juga ketularan malesnya hehehe

Mungkin memang ngaruh ya kalo udah punya anak. Padahal suamiku itu hobi nonton loh. Terutama channel HBO. Apalagi yang menampilkan berita terkini, sebelumnya rutin tiap malam gak boleh kelewatan. Memang aneh juga kali ini. Masih belum nemu alasan kenapa bisa jarang banget nonton tv. 

Bisa jadi juga karena kami masing-masing punya gadget yang lebih praktis untuk dipantengin. Atau memang kebetulan anak kami lebih menarik untuk diperhatikan ketimbang masalah-masalah yang muncul saat ini. Yang jelas, kasus-kasus ataupun berita apapun aku updatenya lebih sering via FB. Ya lagi-lagi FB bisa multifungsi. Benar-benar media sosial deh. 

Jadi selama dua bulan ini, terhitung sejak pertama kali bawa anak ke rumah dinas, bisa dihitung jari berapa kali kami menyalakan tv. Bahkan suasana malam ini bener-bener lengang karena suami dan anakku tertidur pulas. Yang satu karena capek seharian bekerja, satu lagi memang pasti ngantuk jam segini hehe

Oke, segitu dulu info untuk saat ini ya... Pantengin terus blog ini dan baca-baca juga tulisan saya yang lain ya ;) ting


Sayang Anak: Kaos Anak Sholih

Kabar gembira!!!
Buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang punya balita maupun anak usia 6 tahun, kini hadir kaos islami Anak Sholih. 

Spesifikasi Kaos Anak Sholih:
Bahan: 100% cotton combed 24S
Ukuran: SS, S, M, L, XL hingga anak usia SMP. Untuk sementara ready: S, M, L. Tersedia pula lengan panjang. 
Harga: Rp 65.000 lengan panjang + Rp 10.000 (belum ongkir)

Desainnya:

Sangat mendidik bukan? Bahkan desainnya yang sederhana mampu memberi pengaruh besar karena dapat menjadi pengingat diri dan anak. Selain itu juga agar memotivasi anak untuk rajin ibadah. 

Minat?? Hubungi:
WA/SMS: 081322095451 
Pin bb: 769408b6

Menerima reseller!


Rabu, 29 Januari 2014

Menu MPASI: Tragedi Pisang dan Tepung Beras Merah

Gak kerasa ya hidup itu. Perasaan baru kemarin asyik bermain sama teman-teman sepantaran, eh tiba-tiba udah menikah. Perasaan baru aja hamil, gak taunya anak udah 6 bulan aja. 

Dengar kata 6 bulan, pasti kaum ibu langsung teringat "pasti udah mulai makan" hehehe... Dan itu memang benar ibu-ibu sekalian ^^

Alhamdulillah Naira saya berikan ASI eksklusif. Gak perlu bangun malam kalau bayi nangis pengen mimik, tinggal sodor dan cuma ngorbanin waktu tidur beberapa detik. Untungnya, Naira itu bayi yang sangat pengertian, kalau malam tidurnya pulaaass banget. Gak usil suka ngajakin main. 

Sekarang usianya sudah 6,5 bulan. Tanggal 16 kemarin ia genap 6 bulan. Tapi saya dan suami sudah memperkenalkan buah mangga padanya satu minggu sebelumnya. Hanya sekedar dijilatkan saja, tidak membuat pureenya. Hal ini kami lakukan untuk melihat bagaimana antusiasnya kepada selain ASI. Tapi alasan utamanya karena gak tega melihat Nai yang pasang wajah innocent dan kepengen makan saat kami menyantap makanan. 

Ketika Nai sudah genap 6 bulan hingga saat ini, kami sudah memberikan beraneka macam buah. Tambahan lagi yaitu tepung beras merah. Apa saja jenis buahnya? Tentu saja buah mangga, trus saya beri apel merah, pir, pepaya, alpukat, dan pisang ambon. Trus untuk sumber energinya saya beri tepung beras merah yang dikukus pake microwave selama 50 detik. Sebelumnya saya sangrai dan blender sampai halus beras merahnya. Untuk buah-buahan umumnya saya blender, misalnya pepaya, mangga dan alpukat. Untuk apel dan pir saya kukus dulu baru dihaluskan. Nah, gimana dengan pisang?

Saya mau sharing sama kamu pengalaman yang gak mengenakkan sekaligus pembelajaran seputar menu MPASI. Jadi awal-awal tu kan heboh pengen nyobain banyak jenis buah ke bayi. Trus kurang menggali informasi yang lebih mendalam, membuat saya main trial and error ngasih menunya. Jadi suatu kali, tepung beras merahnya saya campur air matang saja tanpa dimasak trus langsung saya suapin ke Naira. Dianya lahap banget makannya sampai habis setengah mangkuk. Ditambah lagi pas siang saya cuma menghaluskan manual dengan sendok untuk pisangnya.  Itu jg Nai lahap sampai suapan terakhir. Lalu???

Alhasil, bayiku rewel banget malamnya. Biasa suka main tapi waktu itu nangis mulu. Paginya BAB tapi dikit. Masih belum curiga. Siang ampe sore Nai gak ada BAB sama sekali. Agak was-was malamnya karena ngeliat tingkah Nai gak biasa. Teringat juga siangnya kayak ngeden tapi gak keluar apa-apa kecuali cuma pipis. Nah, suamiku pas pegang Nai ngerasain kalau ia sedang BAB tapi nangis. Kuperiksa popoknya ternyata benar. Segera kuajak suami sambil gendong Nai ke kamar mandi. Saat popok kubuka baru Nai leluasa BAB. Sungguh kasihan melihat Nai yang mungkin kesakitan karena BABnya keras dan banyak. Tidak seperti biasanya, lancar dan standar saja. Setelah semua keluar, Nai kembali ceria. Lega rasanya. 

Jadi buat ibu-ibu sekalian, saat memberi MPASI di awal-awal jangan sampai teksturnya langsung kasar ya... Jangan kayak saya 😁

Senin, 27 Januari 2014

Pesan Gadis Berjilbab Merah Muda

Aku melangkah gontai diantara kerumunan sore itu. Sore di mana orang-orang melepas kepenatan mereka setelah seharian bekerja demi sesuap nasi. Salah satu dari mereka adalah aku, seorang pegawai kontrak yang masih terus berjuang mengundi nasib di tengah kejamnya ibu kota. 

Berbekal materi seadanya, selembar ijazah serta berkas-berkas pendukung lainnya, kuputuskan jauh-jauh dari kampung untuk mencari peruntungan di Jakarta. Beberapa bulan sebatang kara melanglang buana di tanah Betawi. Entah berapa banyak surat lamaran kerja sudah kulayangkan ke berbagai macam perusahaan. Hingga akhirnya aku diterima kerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa, tetapi dengan satu syarat. Aku harus LULUS masa uji coba selama enam bulan dengan gaji dibawah standar. Kubesarkan hati ini untuk menjalani semua dengan sabar bersama tanda tanya besar yang mengganjal di hati. Akankah masa trainingku berakhir dengan senyum atau luka awal bulan depan? 

Kusandarkan tubuhku perlahan ke dinding tempat tunggu busway di kawasan Harmoni. Berusaha meluruskan tulang punggung yang terasa kaku serta sendi-sendi yang nyaris remuk redam. Tak kuhiraukan hiruk pikuk lalu lalang para calon penumpang armada tersebut. Karena tak kan ada yang peduli satu sama lain. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Hidup di Jakarta itu keras, batinku menggumam. Hanya orang-orang yang lolos seleksi alam yang akan mampu bertahan, tambahku. 

Ah, beginilah efek saat menghadapi weekend. Aku yakin sekali mereka yang rela berebutan naik angkutan umum merasakan hal yang kurasa saat ini. Buktinya, tak seorang pun kulihat dari mereka yang berwajah sumringah. Hanya sesekali terlihat helaan nafas karena mengejar waktu di saat matahari buru-buru pergi, enggan bertemu bulan. Tapi, tunggu dulu. Siapa wanita itu?
***
Biasanya mudah sekali untuk memejamkan mata. Hanya beberapa menit saja setelah kurebahkan raga ini di atas kasur kapuk lusuh, dengkuran maha dahsyat pun membahana hingga kamar sebelah. Apalagi jika sudah berpelukan dengan guling tua kesayangan, sudah barang tentu tak terdengar lagi suara-suara ketukan dari berbagai penjuru dunia perkontrakan. Setidaknya itu fakta yang kudengar dari tetangga kosan. 

Tapi tidak untuk malam ini. Sosok wanita berjilbab merah muda tadi terus memblokade setiap jalur pikiranku. Gayanya berbusana memutar kembali memori saat masih mengenyam bangku SMP, di mana majalah An-nida kerap menjadi santapan tiap kali terbit. Berbeda sekali dengan busana yang kukenakan, walau masih sopan tapi aurat kepala masih menganga. Usianya mungkin sepantaran dan perawakan kami tidak jauh berbeda semampainya (red; semeter tak sampai). Yang mencuri perhatian adalah buku kecil berwarna hijau tua yang digenggamnya. Bahkan ukurannya lebih kecil dari yang pernah kulihat seumur-umur. 

Gadis itu berbeda sekali. Tak penatkah ia hidup di kota megapolitan seperti ini? Tidak sepantasnya dia berada disini. Wajahnya yang memancarkan sinar optimis mengarungi detik demi detik hidupnya sangat kontras dengan kenyataan yang sedang kuhadapi seorang diri. Senyum tipis disunggingkan di setiap langkahnya hingga gadis itu memutuskan untuk berdiri tepat di sebelahku. Sungguh mengejutkan. 

"Assalamu'alaikum Ukhti," suara lembut itu menyapa membuyarkan sejuta lamunanku akan sanak keluarga di kampung. 

"Eh..., hmm... Wa'alaikumsalam," deg. Hatiku tiba-tiba berdebar. Sungguh aneh, jaman edan begini masih ada yang mau mengucapkan salam untuk yang sama sekali belum dikenalnya. Pakaian yang dikenakannya juga sangat jauh dari kata modis. Sungguh sederhana. Sangat tidak relevan untuk gaya hidup di kota besar seperti Jakarta ini, pikirku. Kalau masih tinggal di kampung sih sah-sah saja berpakaian seperti itu. Anehnya, koq dia gak minder ya?

"Ukhti, maaf kalau kiranya saya membuat Ukhti terganggu dengan tilawah saya di tempat umum begini..." 

Apa? Dia menyebutku apa tadi? Ukhti???

"Silakan, mba sama sekali tidak," jawabku singkat dengan raut wajah yang kubuat sedatar mungkin walau hatiku amat bingung. Tangannya memegang mushaf mungil yang diarahkan ke depan dadanya, sembari membuka lembaran ayat-ayat suci ke halaman tertentu. Aku masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kualami detik ini. Seperti mimpi. Gadis pemegang mushaf mulai melantunkan bacaannya. Seketika itu pula flashback masa kanak-kanak saat aku ingin ayah selalu mengantarku ke TPA muncul begitu saja.

"Enggak mau ngaji kalau enggak ayah anterin..." bayanganku di masa kanak-kanak seolah nyata di hadapanku. 

"Hmmm... Masa harus dianterin Ayah terus, nak?" tatapan teduh dan senyuman Ayah hingga kini masih tetap sama, hanya saja kerutan di wajahnya tak sebanyak sekarang. Aku ngambek hingga Ayah pun mengalah, "iya deh, Ayah anterin lagi hari ini, besok, dan seterusnya ya."
Seperti nyata, sampai aku menggerakkan tangan kananku ingin menyentuh wajahnya. 

Tersadar bahwa itu lamunan semata, segera kuluruskan tangan ke samping tubuhku. Tapi anehnya, aku merasa seperti ada yang tercekat di tenggorokan. Kutelan ia secepat mungkin, berharap gemuruh di dadaku mereda. Terlintas oleh ucapannya yang memanggilku 'Ukhti', seolah jauh sekali dari kata pantas untuk kusandang. Aku merasa ditampar akan keberadaannya. Kehadirannya mengundang sejuta lamunan masa laluku dan itu sudah cukup mengiris kalbu. 

Fa biayyi aalaa irabbikumaa tukadzdzibaan.

Ayat yang diulang hingga 32 kali ini dalam surat Ar-rahman sesekali terdengar olehku di sela-sela lamunan. Ces... Seperti ada aliran yang menyengat dalam dada. Kucoba ingat kembali terjemahannya. 

'Dan nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?'

Dalam diam aku beristighfar. Tanpa sadar gemuruh di dada membuncah. Kian lama kian sesak, ibarat lava yang siap menyemburkan segala isi perutnya untuk keluar. 
***
Di ruang 3 x 3 meter persegi ini aku duduk mematung. Kulingkarkan tangan ke betis hingga dengan mudah kudekap kening pada lutut kurusku. Bening itu perlahan mengumpul di pelupuk mata, menunggu kapasitas yang cukup untuk tumpah. Perih sekali. 

Bayangan kedua orang tua yang sudah renta tak mampu kutepis. Teringat betapa bangganya ibu mengabarkan sanak famili tentang keberadaanku di Jakarta, dengan alasan bekerja di kantoran. Juga Ayah, yang rela mengorbankan lebih dari separuh gaji pensiunnya selama ini, demi kelancaran hidupku di ibu kota sebelum perusahaan mencabut status kontrak dan menyandangkan status baru padaku sebagai karyawan tetap. 

Kini bening itu tak terbendung. Tetes demi tetes tumpah ruah membasahi pipi. Isak tangis tak tertahankan, hingga bayangan muslimah tadi muncul lagi. 

"Manusia itu kebanyakan kurang bersyukur, Ukh. Padahal Allah sudah janji di Al-Qur'an bahwa rejeki tiap orang itu dijamin sepenuhnya oleh Allah," ucapnya tanpa menghiraukan akan didengar atau tidak. Sementara mushaf dari genggamannya telah berpindah entah kemana, karena tak terlihat lagi di kedua tangannya. Lalu gadis itu melanjutkan, "bahkan seekor cicak saja makanannya berupa serangga yang bisa terbang." 
Ia benar. Semua ucapannya menghipnotisku untuk mengangguk, memaksa diri untuk berfikir. Mengapa semua ucapannya begitu mengusik jiwa?

Belum reda tangisan, ia membuatku semakin malu pada diri sendiri. Sudah begitu sering aku menyusahkan kedua orang yang telah merawatku dengan kasih sayang dan tangan mereka sendiri. Sementara aku? Apa yang dapat kuberikan pada mereka? Di mana aku saat mereka butuhkan? Bahkan di usiaku saat ini sudah tidak sepantasnya lagi 'mengemis' pada orang tua. Malah sebaliknya, harusnya aku tau diri untuk bersedekah pada mereka. Setidaknya, mengurangi beban kedua orang tua. Tangisku pecah. 

"Ukhti, Allah menciptakan makhluk itu bukan tanpa tujuan. Tapi untuk menyembahNya. Dunia ini fana, akhirat lah yang abadi. Disana pula nanti seluruh makhluk kembali pada RabbNya, untuk diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia," kata-katanya bak petir yang memekakkan telinga dan menembus relung hati terdalam. 

Seketika kualitas ibadah yang selama ini kutinggalkan begitu saja menghantui pikiran. Jangankan mengaji, shalat pun kuanggap angin lalu. Belum lagi maksiat-maksiat yang telah kulakukan, terutama sejak berada di ibu kota. Kerudung yang kerap kupakai perlahan kulepas karena takut tidak diterima bekerja. Shalat kutinggalkan demi kepentingan duniawi semata. Al-Qur'an pemberian ayah hanya menjadi hiasan yang kubiarkan saja di atas meja. Nyaris tak pernah tersentuh. Kututup mataku kuat-kuat sembari larut dalam tangisan yang makin menjadi. Ya Allah, akankah Kau terima taubat hamba yang hina ini?

"Tapi Ukh, Allah itu Maha Pengampun. Ia selalu menantikan tangan-tangan yang menengadah menyebut namaNya, terutama di sepertiga malam. Allah selalu merindukan tangis-tangis rindu padaNya. Yang menyerahkan diri sepenuhnya untuk menjadi abdiNya."

Ah, benarkah? Tapi, apakah masih mungkin ada secercah harapan, sementara dosaku sudah menggunung? Aku bahkan lupa apa itu dosa. Astaghfirullaah...

Bukan sekali dua aku menipu orang tua demi tambahan uang saku agar Rendi, sang pujaan tidak berpaling ke lain hati. Kerap kali Rendi memanfaatkanku sebagai pelayannya, sekaligus bank saat ia kehabisan uang. Bodohnya lagi, aku malah takut kehilangan jika diputusi olehnya. Ampuni aku Tuhan. Betapa durhakanya diriku pada ibu dan ayah disana. Mungkin saat ini mereka mengkhawatirkanku dan tak bosan-bosannya selalu mengirim doa pada Allah agar terhindar dari mara bahaya, namun aku? Hampir tak pernah lagi mengabari mereka tentang keadaanku hanya karena mengurusi lelaki tak tahu diuntung itu. Tangisku semakin kuat hingga sesenggukan. Ya Allah, aku rindu ibu dan ayah disana. Aku ingin memeluk mereka saat ini. 

Pertemuan kami berakhir saat ia mengakhiri pembicaraan. 

"Ukhti Sinta, sesungguhnya ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Sementara murka Allah terletak pada kemurkaan orang tua. Berbuat baiklah selagi mereka masih ada, Ukh. Assalamu'alaikum."
Belum sempat kujawab salam bahkan menanyakan darimana tahu namaku, tiba-tiba saja ia pergi dan seketika itu pula menghilang. Kemana perginya? Siapa dia? Aku gusar ditinggal dalam kebingungan. Kutanyai yang berada di sekelilingku, namun mereka hanya diam. Lalu menghindar dariku. Aku tak tahan lagi, kepala ini rasanya mau pecah dan tiba-tiba saja langkahku tak keruan hingga sempoyongan sementara yang mengantri busway membelah antrian hingga aku berada paling depan. Hingga tak sadar badanku oleng ke bawah. Dan tiba-tiba taxi dengan kecepatan tinggi itu melaju tepat di hadapanku dan....

ALLAAAHUAKBAR

Aku tersentak terbangun dari tidur dengan nafas yang terengah-engah serta debaran jantung yang sangat kencang. Ternyata semua hanya mimpi. Syukurlah. Kulihat diriku masih berseragam lengkap dengan sepatu yang tak sempat kulepas. Kusentuh lembut pipiku, ada air mata. Aku benar-benar menangis hingga terbawa ke alam nyata. 

Jarum jam dinding tepat di angka 12. Belum terlambat untuk memulai lagi dari awal, batinku. Tak  mampu menafikkan bahwa gadis berjilbab merah muda tadi datang menjadi bunga tidurku tanpa alasan. Siapapun dia, itu adalah teguran buatku. 

Hidayah itu hanya datang pada orang-orang yang mau mencarinya. Berubah lebih baik, dimulai dari sekarang atau tidak sama sekali adalah pilihan kita masing-masing. 

*****

Minggu, 26 Januari 2014

Kejar Target and Finally I Can Make It!!!

Alhamdulillaah hari ini terkejar juga targetnya :) Sebelumnya saya mau cerita sedikit sama kamu tentang targetan yang saya maksud. 

Alhamdulillah udah 2 minggu ini saya ikut program ODOJ, One Day One Juz via Whatsapp. Kebetulan sekali pas daftar udah lengkap 30 orang. Besok malamnya saya langsung dihubungi oleh penanggung jawab dari grup saya. Jadi program ini ibarat kita tadarus bareng, tapi jarak jauh. Di awal kita milih mau ngaji juz berapa trus lapor sebelum pukul 8 pm udah beres apa belum. Hari berikutnya, dst kita melanjutkan juz yang sudah kita baca. 

Trus program ODOJ ini juga kita boleh minta perpanjangan waktu kalau kita merasa gak kan terkejar sebelum pukul 8 pm. Mungkin sedang ada tugas, bepergian, dan uzur lainnya. Seandainya kita merasa tidak mampu menyelesaikannya, kita boleh minta juz bagian kita dilelang ke anggota untuk diselesaikan. Biasanya pada rebutan mau mengambil karena mengingat 1 huruf dari Al-Quran jika dibaca mendapat pahala 10 kebaikan. 

Nah, berhubung hari ini hari Minggu, suami juga libur, hampir semua waktu saya habiskan untuk keluarga kecil saya. Apalagi agenda kami lumayan padat di rumah (sok sibuk intinya!). Tapi Alhamdulillaah sebelum pukul 8 pm saya pastikan juz bagian saya selesai. Waktu buat keluarga juga maksimal. 

Saya juga mendengar ada kontradiksi yang terjadi berkaitan dengan ODOJ ini. Ada yang bilang ria sehingga terkesan pamer. Sistem laporan yang mengarah program ini terkesan seperti itu. Belum lagi sistem lelangnya jika ada anggota yang tidak mampu menyelesaikan tilawahnya. Menurut saya, sah-sah saja. Pro dan kontra pasti ada untuk setiap hal.

Terlepas dari itu, jujur, saya ikut program ODOJ ini bukan ikut-ikutan. Lebih karena saya merasa malu sama Allah. Kenapa? Sebelum punya anak, tilawah saya rutin sekali setiap habis shalat fardhu. Masa sekarang sudah punya anak saya jadi lalai kepada Yang Menganugerahkan anak. Ter la lu menurut saya. Jadi program ODOJ ini sebenarnya untuk motivasi saya agar meningkatkan ibadah saya pada Allah. Soalnya ngajinya jadi sering bolong selama belum ikut program. Ini juga saya lakukan untuk memberi contoh pada bayi saya agar sejak dini ia terbiasa dengan mendengarkan ayat Al-Quran. Namun, saya mengakui hanyalah seorang yang sangat awam tentang ibadah. Saya mengambil positifnya saja dari itu semua.

Kesimpulan saya adalah dahulukan kepentingan kita terhadap Allah, setelah itu baru memikirkan urusan dunia. Kalau waktu untuk dunia kita sempatkan, mengapa untuk Allah kita sempitkan :)
Wallaahu a'lamu bisshawaab. 

Jumat, 24 Januari 2014

Pengen Blog Punya Rangking Yang Bagus!!!

Hari ini saya mendapat pencerahan. Tidak rugi rasanya bergabung dengan grup fb yang mengatasnamakan diri sebagai Komunitas Bisa Menulis. Kenapa? Karena itu adalah grupnya Asma Nadia dengan admin suaminya sendiri yaitu Isa Alamsyah serta partnernya mas Agung Pribadi, seorang sejarawan yang berhasil menelorkan buku yang berjudul Gara-Gara Indonesia.

Itu aja?

O tentu tidak. Saya bisa menemukan banyak pengetahuan tentang dunia kepenulisan dari sana. Menariknya lagi adalah semua anggota KBM boleh memberikan kritik dan sarannya, yang populer disingkat sebagai 'krisan' pada tulisan yang telah diposting. Tujuannya? Untuk perbaikan dan peningkatan mutu keahlian menulis kita. Bukan itu saja, di KBM malah kita bisa memperoleh banyak informasi terkini melalui postingan2 para member serta dapat memperluas link pertemanan dari sekian puluh ribu warga KBM. 

Trus apa hubungannya sama rangking blog? Hubungannya adalah dari aktivitas menulisnya. Informasi ini saya peroleh dari seorang member KBM yang akrab dipanggil Kang Dana. Nah, kata beliau gampang sekali untuk mengetahui urutan blog kita yang berhasil dijaring oleh google. 

Hal yang pertama sekali harus diingat adalah kamu harus punya blog dulu. Kalo tidak ya liat rapot aja kamu rangking berapa di sekolah hehe.. Selanjutnya kamu harus pastikan blog kamu itu aktif terus n gak plagiat. Karena banyak sekali orang yg lupa sama alamat blognya saking banyak anggurnya di blog (red: dianggurin). Sekarang baru masuk ke bagian inti (senam kalleee). Kamu buka situs alexa.com lalu masukkan alamat blog kamu. Klik tanda search sebelah kanannya dan keluarlah rangkingnya. 

Blog akan semakin bagus kalo nominalnya semakin kecil. Kamu juga bisa koq ngecek blog orang lain. Kalo penasaran, cek aja blog saya hasilnya gimana. Hehehe pengen ketawa. 

Nah saatnya giliran kamu ngecek peringkat blog kamu. Jangan lupa share disini ya biar saya punya teman tertawa terpingkal-pingkal hahaha

Kamis, 23 Januari 2014

PLAGIAT = MENCURI

Saya yakin, di sekolah kita diajarkan untuk menghargai hasil karya orang lain, bukan sebaliknya.

Saya yakin, siapapun akan marah ketika hal yang kita miliki dicuri bahkan dijadikan komersil oleh orang lain tanpa sepengetahuan kita.

Bicara soal hak cipta, ada kaitannya dengan nilai keunikan dari produk yang dihasilkan oleh setiap orang. Dan dari nilai itu ada harga yang harus dibayarkan. Apakah harus selalu berupa barang? Tidak. Bahkan ide sekalipun memiliki harga yang sangat tinggi. Karena produk tercipta berawal dari sebuah ide. 

Bayangkan, jika saya plagiat karya yang dijadikan usaha oleh seseorang, di mana usaha tersebut adalah sumber penghasilan tunggal bagi keluarganya! Lalu tanpa merasa bersalah menduplikat hasil karyanya lantas menjualnya dengan harga lebih murah. Zalim sekali saya!!! 

Dari pengalaman teman saya yang berkuliah di salah satu universitas negeri di Australia. Disana, laporan atau tugas essay tidak begitu saja dapat langsung dikirimkan ke email dosen, tapi disaring terlebih dahulu oleh suatu alat pendeteksi yang sudah disediakan oleh universitas secara online untuk mengetahui adanya tindak plagiat. Jika tingkat plagiat tulisan yang terdeteksi diatas 20%, maka mahasiswa/i akan didenda sebesar AUD $ 500. Begitu besarnya penghargaan mereka terhadap hasil pikiran orang lain.

Saya berani katakan plagiat atau biasa disebut menjiplak atau menduplikat adalah tindakan kriminal. Menurut saya, tiap orang itu diciptakan unik alias berbeda-beda oleh Allah. Bahkan sidik jari dari tiap orang tidak ada yang sama. Apalagi isi di dalam kepala manusia. Sudah sepatutnya kita mengembangkan potensi alamiah dalam diri kita bukan sekedar "copy and paste" semata. 

Jika ingin tidak disebut sebagai plagiator, maka minta izin terlebih dahulu dari empunya produk. Ada royalti yang menjadi hak penemunya. Kalau berupa tulisan, maka cantumkan sumbernya atau menggubahnya dengan bahasa kita sendiri. Semua itu ada kode etiknya, perlu diketahui supaya tidak ada yang dirugikan.

Semoga kita semua menjadi orang yang mampu mengoptimalkan kemampuan diri kita sebagai bentuk penghargaan terhadap diri kita sendiri. Selanjutnya, akan mudah sekali untuk menghargai karya orang lain. Tidak hanya berpikir dari segi materinya saja, tetapi juga nilai keunikan yang punya hak paten didalamnya.



Jumat, 17 Januari 2014

DIARY AYAHANDA

Naira…
Ini semua karena kamu. Tepat pada tanggal 16 Juli 2013, bulan puasa, semalaman ayah chatting sama mama kamu. Tak terasa sudah larut malam, ayah stop chattingnya agar mama bisa tidur. Sementara ayah tetap terjaga sampai sahur, baru bisa tidur setelah shalat subuh, sahur hanya dengan semangkuk sereal :D

Pagi itu ayah sedang bertugas di lapangan. Pukul 10.30 ketika perforasi di sumur minyak sedang persiapan, ayah ditelpon oleh oma dari Aceh yang mengabarkan bahwa mama Nai sudah tiba di rumah sakit umum, ruang operasi. Kaget ayah bukan kepalang karena perkiraan kamu lahir ke dunia seminggu lagi. Apalagi, ayah sudah beli tiket untuk cuti. Lima menit kemudian, oma bilang Nai sudah lahir… dengan selamat… berat 2.7kg, panjang katanya 47 cm. 

Alhamdulillah, senangnya hati ayah karena selama ini selalu menunggu kehadiran kamu. Pada hari itu, ayah jadi orang paling sumringah di sumur pengeboran minyak.

Pertama gendong Nai tanggal 17 Juli 2013, menjelang maghrib sebelum buka puasa. Perjalanan Sangatta-Balikpapan-Jakarta-Medan-Aceh itu sangat jauh sayang, tapi sedikitpun ayah tidak merasa kelelahan. Demi untuk melihat kamu, Nai.

Kata orang hidup itu pasti berputar. Ayah juga anak pertama, sama seperti Nai. Opa Bandung pasti senang sekali ketika ayah baru lahir. Ayah bisa merasakan seperti apa senangnya opa dulu. Kelahiran anak pertama itu rasanya pasti luar biasa, pokoknya tak bisa digambarkan bagaimana senangnya. Bedanya ayah ini laki-laki, sedangkan Nai perempuan.

Selama menjaga Nai sambil menunggu kondisi mama pulih, ayah belajar menggantikan popok sama suster. Kamu tahu bagaimana perasaan ayah saat itu, nak? Ayah merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Ingin rasanya Ayah berlama-lama di rumah oma Aceh agar terus bisa merawatmu, mengamati perkembanganmu, dan melihat puteri ayah setiap saat tanpa melewatkan sehari pun. Namun ayah punya amanah yang menjadi tanggung jawab besar agar bisa menafkahkan mama dan juga Naira. 

Ayah sangat rindu kehadiranmu disini, nak. Menanti enam kali bulan purnama serasa menahun untuk kita bisa berkumpul. Cepatlah waktu berputar karena kurindu buah hatiku disini saat ini. 

Sangatta, juli 2013

(maaf ya Ayah Nai, gak sengaja pas mw nulis di word pake laptop Ayah ternyata ada file yg belum beres ditulis. Gak taunya isinya diary Ayah :D)
    

MOBIL YANG SAMA

Tanti adalah seorang ibu rumah tangga muda dan cantik yang memiliki anak bernama Husin. Mereka baru saja pindah ke Cepu karena suami Tanti dipindahtugaskan disana. Bersuamikan seorang yang berkedudukan tinggi di salah satu perusahaan swasta di Cepu, menuntut dirinya untuk mampu bersosialisasi lebih di kalangan para istri karyawan. 

Berhubung Husin sudah berusia tujuh tahun, Tanti dan suaminya berencana menyelenggarakan syukuran untuk ulang tahunnya yang tinggal tiga hari lagi. Karena kesibukan suaminya, maka otomatis segala keperluan acara Tanti lah yang mengurusnya. 

Siang itu Tanti baru saja menjemput Husin dari sekolah. Ia membutuhkan biaya untuk persiapan ulang tahun Husin sehingga memutuskan untuk mencari atm terlebih dahulu. Dari arah jalan pulang, Tanti memarkir mobilnya di sebuah swalayan yang cukup besar di Cepu karena atm terdekat berada disana. Alih-alih hanya sebentar, Husin yang sudah tertidur karena kelelahan dibiarkan Tanti menunggu di mobil tanpa menguncinya. 

Uang secukupnya untuk keperluan acara sudah dalam genggaman. Tanti pun bergegas keluar hendak menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari atm. Tanti yang sudah di depan pintu pun buru-buru hendak membukanya. Tapi anehnya pintu mobilnya tidak bisa dibuka. 

"Loh, kenapa lagi ni mobil? Pake acara gak bisa dibuka segala," ujar Tanti setengah panik karena ia merasa tidak mengunci mobilnya. Memang pernah beberapa kali Tanti mengalami hal serupa, harus dikunci lagi lalu unlock kembali. 
"Duuh, koq masih gak bisa juga sih," kali ini Tanti hampir hilang kesabaran hingga ada seorang pria tampan mendekatinya. 
"Mba, mau ngapain?" seru pria yang berwajah tampan tersebut menghampiri Tanti. 

Tanti kaget sekali saat itu. Bukan karena berhadapan dengan seorang lelaki tampan, tapi lebih karena takut terkena bujuk rayu hipnotis. 
"Pake nanya lagi, ya mau masuk mobil lah," suara Tanti meninggi karena pria tersebut menanyakan pertanyaan retoris menurutnya. Masih sambil membuka mobil dengan paksa. 
"Maaf mba, ini mobil saya," si mas tersebut berkata sambil tersenyum penuh arti. 
"Enak aja ngaku-ngaku, ini jelas-jelas mobil saya."
"Coba mba perhatikan plat mobilnya. Mungkin mba yang salah," seketika itu juga Tanti memastikan dengan melihat plat mobil tersebut. 

Malu tak dapat ditahan. Ternyata mobilnya berselang dua mobil dari sebelah kiri kendaraan milik pria asal Cepu tersebut. Wajah Tanti kini memerah dan ia berusaha keras untuk menutupi rasa malu, walau tak mampu. 
"Maaf ya mas."

Tanti sungguh malu karena asal selonong. Tak disangka sedikitpun olehnya akan terjadi hal konyol seperti itu. Ia segera melaju ke arah mobil miliknya dengan perasaan yang ia sendiri lebih mengerti. Saking malunya, rasanya ia ingin menutup wajahnya dengan selimut bermotif shaun the sheep, lalu dengan rela meluncur tinggi ke angkasa menggunakan pesawat antariksa dan enggan kembali lagi ke bumi karena takut bertemu lagi dengan si tampan. 

Sekian

ABANG SALAH, DEK

Seperti biasa, tiap lebaran Idul Fitri umat muslim melakukan silaturrahim. Ada yang berkumpul bersama keluarga, ada pula yang berkunjung ke tetangga. Kebetulan aku dan suami hidup merantau di negeri orang. Atasan suami juga memberi mandat untuk standby, sah lah lebaran kali ini dirayakan tidak bersama keluarga tercinta. Hiks.

Malam lebaran

Suara takbir dikumandangkan. Puasa pun berakhir dan zakat fitrah telah lunas dibayar. Tapi masih ada yang kurang lengkap, pengantin baru harus menikmati lebaran di kampung orang. Setelah shalat isya, suami mengajakku duduk di teras sambil menunggu rombongan anak kecil dan remaja mesjid berkeliling sambil membawa obor. 

"Dek, sedih ya lebaran disini?" Tanya suamiku memastikan gurat senyum yang terlihat kupaksa.
"Enggak bang, asal dekat abang adek udah bahagia koq."

Malam takbiran semakin syahdu diiringi suara lantang mengumandangkan takbir oleh anak-anak. Kami berdua hanya bisa menatap dari kejauhan. Sengaja lampu teras tidak kami nyalakan. Bukan untuk menambah suasana jadi romantis, melainkan supaya bisa berpelukan ala Teletubbies. Tanpa terasa, air mata menetes dan kami berdua pun menangis. 

Lebaran Telah Tiba

Setelah menunaikan shalat sunah Idul Fitri, kami pun melahap bersama ketupat dan opor ayam yang telah kusiapkan sejak dua hari lalu. Itu pun sudah dua kali habis sebelum lebaran tiba. Maklum, sebelum menikah suamiku belum pernah mencicipi hidangan spesial seperti masakanku. 

Setelah kenyang, kami berdua bersilaturrahim ke rumah tetangga yang juga teman-teman rekan kerja suamiku. Ciut nyali melihat aneka hidangan untuk para tamu. Ada lebih dari lima jenis makanan yang disiapkan. Belum lagi kue kering yang berbeda-beda dalam tiap toplesnya. Semuanya dilakukan sendiri alias tidak beli dan disuguhkan secara gratis untuk para tamu. Inilah asyiknya jika lebaran tiba.  Makan gratis siang dan malam. 

Lalu suami mengajakku ke rumah Solihin. Dia adalah supir pak bos sekaligus teman dekat suami. Kami berjalan kaki. Tidak mau kalah sama truk, suami menarik tanganku untuk bergandengan. Lalu pandangannya tertuju pada rumah yang tepat berada di sebelah kiri kami. 

"Hei, Solihin. Selamat Idul Fitri ya," kini lelakiku melangkah ke arah temannya yang memang berada di dalam rumah. Aku menguntit saja. 
"Eh, mas Purwa. Selamat Idul Fitri juga, mas," balas Solihin yang masih dalam posisi duduk enggan berdiri. 

Suami pun melangkah ke rumah panggung itu dan aku mengekorinya. Konstruksi rumahnya berupa kayu ulin yang merupakan khas Kalimantan. Belum dipersilakan, kami berdua sudah duduk duluan. Mereka berdua berbincang-bincang mengambil posisi di ruang televisi, sementara aku hanya nyengir saja sambil duduk manis sendirian. 

Terlihat ramai sekali di rumah itu. Mereka semua berkumpul di dapur yang berada tepat di depanku. Lalu seorang ibu separuh baya membawakan minum. 

"Diminum mba, mas airnya," 
"Terima kasih bu, enggak usah repot-repot," sahutku sambil menyentuh pegangan cangkir dan menyeruput teh pelan-pelan. 

Belum habis teh kuminum, tiba-tiba suami mengajak pulang. Beliau memberi kode kedipan mata dan mengembangkempiskan hidung. Padahal belum juga sepuluh menit bertamu. Kami berdua pun bangkit dari duduk mengambil posisi berdiri, siap untuk pergi.

"Terima kasih banyak, bu. Permisi. Solihin, pamit ya!"
"Loh, mas koq buru-buru," si ibu terheran-heran melihat reaksi kami yang tiba-tiba saja pamit pulang. 
"Iya bu, mau ke kota ada perlu," sahut suami sekenanya. 

Kami pun melangkah pulang. Tercium keanehan olehku dari sorot mata suami yang tidak seperti biasanya. Karena penasaran kutanya sang suami. 

"Bang, tadi itu kita bertamu di rumah siapa sih?"
"Abang salah masuk dek, abang kira itu rumah Solihin. Ternyata dia cuma numpang duduk aja disitu."

Wakwaw... 

Dasar Solihin >,<