Selasa, 25 Maret 2014

Kini Kumengerti, Mama!

Dulu ketika masih sendiri, banyak sekali teman-teman bilang kalau aku sangat ekspresif. Bila berbicara mataku berbinar-binar, menyiratkan semangat yang mampu menularkan ke lawan bicara. 

Begitu pula setiap kali aku berbicara dengan mama. Aku yang lebih sering menghabiskan waktu di sekolah ketimbang di rumah selalu memberi laporan kegiatan-kegiatanku padanya. Mama sungguh pendengar yang paling baik. 

Hingga saatnya aku kuliah, pun jauh dari tanah kelahiran. Bisa kupastikan waktuku habis hanya untuk memikirkan urusan sekolah dan diriku saja. Pulang hanya saat lebaran Idul Fitri atau libur semester genap. Aku harus memilih salah satu dari kedua waktu tersebut. 

Mama benar-benar sudah memperhitungkan kematangan usiaku untuk bisa diajak curhat olehnya. Diluar dugaanku selama ini yang berpikir betapa idealnya keadaan rumah tangga yang sudah terbina lebih dari 20 tahun itu. Tak pernah kulihat pertengkaran maupun masalah diantara mereka. Ternyata aku salah! Mereka selama itu tidak baik-baik saja. Namun aku bersyukur mereka tetap bertahan. Hebatnya mereka mampu menutup rapat-rapat masalah yang terjadi pada kami, anak-anaknya.

Hari indah itu datang. Akhirnya sang pangeran berkuda putih datang menjemput. Tidak tanggung-tanggung, ia membawa jauh diriku dari orang tuaku dan juga orang tuanya. Kami hidup berdua jauh di perantauan. Saat itu, yang aku pikirkan adalah hidup bersama orang terkasih itu akan sangat membahagiakan.

Hari-hari berdua pun kami lalui. Pacaran setelah menikah pun kami jalani. Benar-benar pacaran. Kami sama-sama belajar mengenali karakter masing-masing dan mengelola rumah tangga. Di tengah kebahagiaan yang kami rasakan tentu ada juga masa-masa sulit. Kujadikan setiap masalah yang muncul sebagai sebuah tantangan untuk segera diselesaikan. Ibarat perahu, aku harus mengendalikan kemudinya semaksimal mungkin jika tidak ingin karam diterjang badai. 

Dan aku selalu teringat akan dirimu, Mama! Mungkin mama berpikir jika anak sulung dan wanita satu-satunya ini jarang mengingatmu karena jarang menelepon? Tidak, Ma! Setiap bulir darah yang mengalir di tubuh ini menjadi saksi bahwa di hatiku namamu selalu terpatri. Seperti ini juakah yang mama rasakan selama ini? Sakit. Gembira. Kecewa. Bahagia. Terus berputar mempermainkan jiwa dan perasaan. Datang silih berganti. Namun kami masih bisa melalui badai dan ombak yang datang. 

Malaikat kecil kami pun lahir ke dunia. Kebahagiaan lain yang kurasakan. Mungkin setelah ini kesenangan yang kuimpikan terus abadi itu akan datang. Ternyata tidak! Ada saja cobaan demi cobaan yang datang. Kadang aku berpikir, bodoh sekali aku yang terlalu mengedepankan perasaan dibanding logika. Yang ada capek hati saja! Enak sekali menjadi lelaki, pikirku. 

Tapi sisi lain hatiku meredamnya saat aku memilih untuk mengingat mama dan ibu mertua. Mereka juga pasti terlebih dahulu merasakannya. Pahit getir yang lebih menghujam yang seringkali menyiksa. Namun mereka sudah berhasil melaluinya setelah berdamai dengan hati masing-masing. Mereka juga memilih untuk mengorbankan perasaan demi keutuhan rumah tangga. Ya, mama pernah bilang padaku bahwa setiap kelahiran anak maka cobaan juga berdatangan. Dulu aku tidak menanggapinya, tapi sekarang kualami sendiri. Kadang ingin curhat, tapi terlanjur malu dan tidak patut saja. Biarlah kemesraan saja yang mereka tahu. Seperti yang sudah mereka lakukan. 

Seorang teman mengunjungiku untuk melihat bayi perempuan kami yang masih merah. Karena ia belum juga menikah, akupun menyindir halus dirinya. Kupikir ia akan menjawab dengan alasan klise. Sangat mengagetkan mendengar jawaban darinya. 
"Jika pun ada yang mau denganku, mungkin jalinan itu tak kan lama. Kau tahu sekali aku orangnya bagaimana, kan? Lagipula matamu yang dulu berbinar-binar saat berbicara, kini tampak redup. Apa karena sering begadang? Kurasa tidak."

Terus terang, sempat terperanjat ketika kudengar paparannya yang disampaikan sesantai mungkin. Hasil analisa yang teliti dan mungkin ada benarnya. Bahkan tak terpikir olehku sebelumnya. 

Perkataannya mengingatkanku akan raut wajah mama yang mulai bergaris disana-sini. Mata itu. Mata yang kuyakin dulu juga berbinar dari segudang prestasi yang ia ceritakan padaku. Yang membakar semangat untuk bisa melebihinya sampai aku berhasil. Yang bersedia mendengarkan segala hal tentangku, yang setia menemaniku kala sedih dan senang, dan masih banyak lagi.

Terlambat! Kemana saja aku selama ini? Bahkan awal mula binaran itu meredup pun aku tak tahu. Keluh kesahnya tak pernah kutanya. Aku hanya sibuk dengan urusanku sendiri hingga seringkali tak bisa berbuat lebih untuk orang yang telah melahirkanku. Atau ini karma? Karena hampir tak ada waktu yang kuluangkan untuk kedua orang tuaku sehingga semua ini ditimpakan kepadaku? 

Kini aku paham maksudmu, Ma! Aku paham apa yang engkau rasakan selama ini. Aku mengerti mengapa sikap itu yang kau ambil ketika menghadapi Ayah. Aku percaya semua nasihatmu menjelang pernikahanku dulu. Tapi aku terlambat untuk memperoleh ilmunya. Aku justru harus setiap detik mempelajarinya karena ilmu dalam rumah tangga terus bertambah. Hanya saja itu semua tergantung padaku. Mau kupelajari atau tidak!  

Satu hal yang dapat kukatakan. Rumah tangga yang selalu bahagia hanya kau dapatkan di sinetron saja dan skenarionya diciptakan sendiri. Berbeda dengan skenario Allah, sesulit apapun kau membina rumah tangga selalu ada maksud dari-Nya. Kini kumengerti, Ma!

Senin, 24 Maret 2014

Rasa Yang Tak Seharusnya

Aku tahu ini salah! Pun jua tidak sepenuhnya salahku bila rasa ini hadir. Ia datang begitu saja tanpa diundang ke relung hati yang memberi sedikit ruang untuknya. Ah, atau aku salah menafsirkan perasaanku?

"How are you, pretty girl?" tanya Ben tersenyum yang hampir setiap menit menanyakan soal yang sama. Retoris. Namun anehnya, aku suka sekali ditanya terus walaupun diulangi ribuan kali setiap hari. 
"I'm fine. And you?" tak jemu kusambut dengan jawaban serupa, kendati kuucapkan berulang-ulang kali padanya. Tak lupa senyuman manis sebagai pengganti ucapan "Jangan bosan untuk terus bertanya kabarku" padanya. 

Hubunganku dengan Ben tak lebih dari seorang peneliti to be dengan peneliti senior. Ia berkebangsaan Kanada yang sedang meneliti tentang herpetofauna di Indonesia. Sementara dosen pembimbingku yang notabene adalah koleganya, memintaku untuk menjadi penerjemah selama di lapangan sekaligus mengumpulkan data untuk keperluan skripsi. 

Ben tak sendiri. Ada beberapa rekan peneliti lain yang ikut. Namun, hanya dia yang suka mengajakku bercanda. Hanya dia yang suka mengambil fotoku yang tanpa ekspresi. Hanya dia yang bisa membuatku merasakan 'rasa'. Hanya ia yang bisa membuat waktu dua bulan di lapangan tidak terasa lama.

Hingga suatu hari, ia menunjukkan foto-foto dari laptop. Banyak foto-fotoku disana. Ah, hatiku berdesir dan senang tak terkira. Bagaimana rasanya diistimewakan? Ya, begitulah yang terasa saat melihat foto-foto wajahku di layar 14 inch milik Ben. Dapat kupastikan setengahnya dari album yang ia perlihatkan adalah gambar-gambarku. Selebihnya berupa spesies-spesies dari hewan amfibi dan reptil hasil jepretannya di lapangan. Huh, jangan-jangan ia menyamakan wajahku dengan mereka, batinku berbisik. 

Belum puas kunikmati kebahagiaan di hati, senyumku sontak berubah sedatar mungkin saat gambar terakhir terlihat di layar. 
"Sorry, that's my ex-wife."
Ia duda!

Setelah penelitian usai, Ben dan beberapa rekan lain kembali ke Canada. Sementara dua rekan yang masih di Indonesia harus mengurus spesimen hewan di laboratorium jurusan Biologi kampusku. Salah satu dari mereka yang bernama Jim berkata,"Ben said something to me about you."
"What's that?" tiba-tiba degub jantungku kencang, tak mampu kukendalikan. Aku tak sabar mendengar apa yang hendak diutarakan Jim. Sungguh hari-hariku terasa hambar tanpa pertanyaan retoris dari Ben. Aku merindukannya.
"You are the most beautiful girl that he ever spoke to!"

Nafasku tertahan sesaat. Masih dengan debaran yang makin tak keruan, ditambah lagi desiran hati yang membuatku nyaris kaku. Ingin rasanya aku berteriak saat itu. Andaikan Ben disini saat ini!

Oh, Ben. Sadis sekali caramu menghujamkan panah asmara dari Canada sana ke hatiku. Kau memang romantis, Ben. Namun, semanis apapun kata yang terlontar hanya akan memperparah rasaku saat ini. Ya Ben, 'rasa' yang tak seharusnya hinggap di hatiku. Aku sudah punya kekasih! (http://www.lovrinz.com/)

Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway Keping Hati


Kamis, 20 Maret 2014

Dunia: neraka bagi si Kafir, surga bagi yang Mukmin

Wah apa ni maksudnya judul tulisan koq kayak gitu?

Tidak bermaksud menyudutkan orang kafir maupun orang mukmin. Bahkan saya sendiri tidak tahu apakah Allah menilai diri saya sebagai seorang kufur atau beriman. 

Sebagaimana lagu Nike Ardila yang bersyair "dunia ini panggung sandiwara", bukan sekadar isapan jempol belaka. Ternyata sudah tertuang sejak 1.400 tahun yang lalu dalam Alquran. Dunia ini penuh dengan permainan dan senda gurau kata-Nya.

Hari ini kita ketawa ngakak sampai sakit perut, eh tidak lama kemudian kita menangis sesenggukan. Baru sebentar merasakan secercah harapan enggak tahunya harus menelan pahit kekecewaan setelahnya. Detik ini kita masih merasa aman dari keadaan, ternyata saat berhijrah ke suatu tempat situasi mencekam di depan mata tidak terhindarkan. Berlaku sebaliknya, seperti senda gurau.

Belum lagi si pecinta dunia, mudahnya ia terlena dengan gemerlapnya yang fana. Kesenangan sesaat di atas meja judi, kenikmatan bujuk rayu setan dari kehidupan malam yang kelam, pelampiasan kekecewaan dengan narkotika. Segala bentuk kepalsuan yang menggiurkan si pengikut hawa nafsu untuk diikuti. Bahkan ia juga takut mati dan kehabisan harta benda. Termasuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang disebut sebagai 'keuntungan' olehnya. 

Namun bagi mereka yang lain, dunia itu sangat menyengsarakan. Bukan karena harta, tahta, wanita dan anak-anak. Melainkan kehidupan setelahnya. Yang hatinya rindu untuk dapat menatap-Nya. Yang hatinya sabar ketika cobaan ditimpakan. Yang akalnya menerima dan dapat melihat hidayah-Nya. Yang mencintai-Nya dalam segala bentuk kepatuhan. Akan tetapi hanya ia dan Allah saja yang mengetahuinya. 

Ternyata, dibalik kehidupan kita saat ini ada tangan-Nya yang berkehendak. Skenario hidup yang kita jalani telah tertulis di Lauh Mahfudz. Bahkan yang menggegerkan adalah Ia sudah menentukan siapa yang akan ke surga-Nya dan siapa ke neraka-Nya. Yang telah Rasulullah saksikan saat Beliau mikraj ke Sidratul Muntaha. Termasuk kemanakah kita nanti?

Dunia. Yakinkah saat ini kita benar-benar hidup? Atau sebenarnya kita sedang tidur? Dan akan benar-benar terjaga ketika sudah berada di dalam ruang tersempit yang bernama tanah? Berbalut kain kafan yang jauh dari modis. Mungkin, hidup kita saat ini adalah mimpi? Dan kita baru sadar sebenarnya hidup hanyalah beberapa jam saja? 

Saya rasa muhasabah saya hari ini cukup sekian. Besok dan seterusnya ini jadi pegangan untuk setiap keputusan-keputusan selama bernafas di dunia. Selalu bertanya dalam diri, apakah dunia menjadi surga atau neraka bagi saya yang kerdil ini. 

Senin, 17 Maret 2014

Misteri Perpindahan Nai

Ayah Nai melirik jam weker di meja rias. Dengan malas ia beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan Nai yang masih bayi di pojokan. Tujuannya agar ia tidak ngesot dan jatuh ke lantai saat Mama Nai sedang sholat. Setelah memastikan Nai dalam keadaan aman untuk ditinggal, sang Ayah pun keluar kamar saat Mama Nai menyelesaikan rakaat pertama shalat zuhur. 

Tidak sampai lima detik, Nai pun beraksi. Ternyata diam berbaring sendirian itu tidak asyik, pikirnya. Ia ingin mengeksplor sekitar dan... Mama! Ia melihat Mamanya sedang melakukan gerakan yang sudah familiar baginya, tapi tetap menarik untuk dilihat. Nai ingin melihatnya dari jarak lebih dekat. Ia pun ngesot secepat kilat hingga tiba di bibir kasur. 

Setelah meninggalkan kamar, sang Ayah menuju pintu kulkas. Mengambil sebotol yakult untuk mendinginkan kerongkongannya sebelum kembali ke kantor setelah makan siang. Lalu dengan santai duduk di kursi tamu sambil menghadapkan wajah ke televisi. Sebelumnya sempat ngintip ke kamar memastikan kalau Mama Nai masih shalat dan Nai tidak kemana-mana. Dua menit setelah yakult habis, Ayah Nai masuk lagi ke kamar. Ia kaget setengah mati melihat Nai tergeletak di atas sajadah Mama yang sedang menyempurnakan rakaat ketiga. 

"Haa?? Koq Nai bisa disitu?" Tak ada jawaban tentunya. Mama Nai sedang sholat, sementara Nai bisanya cuma nangis, ketawa, ngoceh aa dan oo. 

Belum usai kagetnya, ia pun ke kamar mandi untuk berwudhu persiapan shalat Zuhur. Masuk kamar lagi lalu mengambil Nai dari sajadah Mama. Sang Ayah pun shalat bersama Nai di ruang yang lain karena takut terlambat jika harus menunggu Mama Nai beres sholat. Lalu, Ayah pun berpamitan untuk kembali mengemban amanah negara. 

Hmm, apa sebenarnya yang terjadi sehingga Nai bisa mendarat dengan mulus ke sajadah tanpa membuat sang Ayah curiga saat minum yakult di ruang tamu? Ternyata Mama Nai merangkul Nai yang hampir jatuh ke lantai ketika hendak sujud di rakaat kedua. 

Plis deh Yah, Nai itu gerakannya udah sangat gesit sekarang...

***

Jumat, 14 Maret 2014

Abadikan Hidupmu Lewat Tulisan

Wah, ternyata agar produktif untuk menulis itu susah juga ya...

Memang sih beberapa hari ini saya sedang konsen menulis sebuah novel. Deadlinenya 31 Maret ini memang. Gak tau juga bakal terkejar apa gak. Bayangin aja, target tulisannya tu 200-250 halaman bowk! Sementara sekarang tulisan saya baru 13 halaman. Hiks. Bahkan belum juga masuk ke cerita intinya. 

Wakwaw!!!

Saya mendapat pelajaran dengan menekuni menulis. Alhamdulillah dari dua kali ikutan event lomba, dua karya saya masuk sebagai kontributor untuk dijadikan antologi dalam buku cerpen anak dan cerpen bertajuk hujan. Sementara yang cerpen hujan sedang menunggu antri untuk dicetak, cerpen anak akan terbit bulan April in syaa Allaah. 

Sumpah! Gak nyangka dan gak percaya pas baca pengumumannya. Sebagai penulis pemula saya gak punya target untuk jadi pemenang. Lebih tepatnya ingin coba-coba aja. Kaget campur bahagia ketika nama saya tercantum di urutan ke-11 untuk cerpen anak dari 29 peserta yang terpilih. Menempati urutan ke-6 untuk cerpen bertema "Cinta Dibalik Hujan" dari 15 kontributor di buku #1. Jadi cerpen hujan ini sendiri ada 3 buku yang diterbitkan. Total kontributornya ada 45 orang. 

Kedua cerpen ini memiliki proses yang berbeda. Sangat menggelikan kalau diingat. Untuk cerpen anak awalnya saya posting dulu di grup FB komunitas bisa menulis. Ternyata banyak yang baca dan memberikan kritik dari yang mendukung, bilang bagus, memberi saran membangun hingga kritikan pedas dan cenderung menjatuhkan. Gimana gak, katanya cerpen saya itu bertele2, gak akan masuk nominasi kalaupun diikutkan. Dan yang lebih ekstrim lagi adalah mending gak usah dikirim sekalian. Gak akan lolos, katanya. 

Alhamdulillah, kritikan itu gak saya dengar. Berhubung saya berniat ingin menerapkan ilmu yang saya dapat dari grup KBM tersebut, jadi saya menuruti saran2 membangun. Dan hasilnya ternyata melampaui prediksi saya sendiri. 

Nah, untuk cerpen bertajuk hujan beda lagi ceritanya. Lain halnya dengan cerpen anak yang memberikan waktu lebih leluasa untuk merombaknya, kalau yang ini malah enggak sempat baca lagi sebelum saya kirim. Bener2 mepet waktunya dari deadline. Soalnya 15 menit lagi ditutup dan tidak diterima lagi lebih dari itu. 

Info eventnya saja saya terima kurang dari 24 jam sebelum deadline. Belum lagi saya harus bisa bagi waktu antara ngurus bayi, bersih2 rumah dan menulis. Alhasil, saya baru sempat menulis dengan konsen setelah maghrib karena bayi saya tidur. Godaan lainnya adalah bayi yang tidak mulus bobonya, suka kebangun2. Tapi saya ikhlas menjalaninya hingga tulisan saya tembus ternyata. Syukur Alhamdulillah. 

Saya punya target, bahwa saya harus punya buku sendiri. Apapun itu. Fiksi maupun non-fiksi. Setidaknya ada yang bisa saya tunjukkan pada anak-anak saya nanti dalam bentuk fisik. Dengan harapan, anak2 bisa mengabadikan hidup mereka juga nantinya melalui tulisan. 

Memang, antologi ini belum apa-apa untuk penulis senior. Tapi bagi saya yang newbie, ini adalah awal yang baik dan jadi cemeti buat saya untuk terus berkarya dan pantang menyerah sebelum buku atas nama saya terbit!

Jumat, 07 Maret 2014

Tingkah Kocak Bayiku

Alhamdulillaah...

Enggak terasa Naira sebentar lagi genap 8 bulan. Perkembangan demi perkembangan semakin terlihat dan sangat mengagumkan.

Pertama kali yang secara kasat mata terlihat ketika baru beberapa jam sejak lahir, perawat menyandingkan kami agar sekamar. Setelah dihangatkan di inkubator, Nai yang telah siap untuk merasakan udara luar harus melalui tahap IMD alias Inisiasi Menyusui Dini. Subhanallah, saya enggak habis pikir dengan sosok merah yang belum pun genap satu hari itu langsung paham dan segera menyusui tanpa dituntun. Nalurinya yang menuntunnya karena ia haus/lapar. Entahlah.

Hal mengejutkan lainnya adalah hari keduanya, saat menangis mama alias Omanya mencoba menenangkan sambil mengajak ngobrol. Diluar dugaan, Nai langsung diam dan mendengarkan dengan seksama. Lucu sekali kalau melihat videonya. Setelah selesai dimandikan, Nai yang sudah segar pun terlihat tenang dibanding sebelumnya. Bahkan membuat ia tertidur.

Perubahan selanjutnya ketika Nai 40 hari, ocehannya mulai panjang dan sering. Bahkan saat genap dua bulan, Omanya dibuat terpukau saat mengajak ngobrol Nai. Ia membalas ocehan Omanya begitu lama dan panjang seolah-olah mereka sedang berbicara dengan asyiknya. Belum lagi bobot Nai yang 2x lipat dari berat lahirnya tepat di usia 2 bulan. Nai chubby dan menggemaskan. 

Menjejak 3 bulan Nai sudah bisa diajak interaksi. Emosinya mulai bermain. Ia juga mulai mau digendong siapa saja, sudah mengerti untuk meringankan beban mamanya (ngeles). Juga tidak mau mamanya begadang terlalu lama. Nai tidur awal dan bangun subuh. Alhamdulillah. Ia juga paham melihat acara TV melalui pantulan kaca. Marah-marah jika digangguin, dan mau tersenyum pada siapa saja. 

Di usianya melewati 4 bulan, Nai sudah bisa tengkurap. Kadang malah tengah malam ketika haus tiba-tiba sudah tengkurap sambil nangis. Saya dan suami suka mengajaknya bermain di playmat agar ia leluasa tengkurap dan bereksplorasi dengan warna-warni playmat. 

Di usia 5 bulan ke atas Nai sudah bisa bolak-balik. Menambah kekhawatiran kami jika dibiarkan sendiri di atas kasur. Pernah suatu kali saya di ruang tengah. Nai menangis karena haus/lapar. Ketika masuk kamar, ia sudah di pinggir kasur. Allahu Akbar. Segera saya tangkap kepalanya agar tidak terkena keramik. Dia siap berguling saat itu. Ya, memang jatuh tapi setidaknya saya masih bisa menyelamatkan kepalanya dari terbentur keramik secara langsung. 

Tepat di usia 7 bulan Nai sudah bisa merayap. Tidak membuang kesempatan, ia langsung menjelajahi rumah kesana kemari. Sejak insiden hampir jatuh pun kami yang awalnya memberi batas dengan bantal di pinggir kasur, mulai was-was karena Nai sudah bisa memanjat. Semakin bisa ngesot, pengawasan yang kami berikan semakin besar. Belum lagi hewan kaki seribu yang sering muncul, takut-takut oleh Nai malah dimakan. 

Sekarang apalagi. Nai semakin aktif dan pergerakan merayapnya sangat cepat. Pernah kabel lampu emergency yang tergantung menjuntai ke lantai hendak ditarik olehnya. Alhamdulillah masih bisa diselamatkan. Kalau taplak meja sih lewat, entah berapa kali ditariknya. Untungnya benda-benda di meja tidak membahayakan. Selain itu kami sudah memperkenalkan baby walker pada Nai agar ia tidak bosan di lantai terus. Tapi dominannya saat saya memberi ia makan saja, toh Nai belum paham menggerakkan baby walker. Seringnya kalau dia sudah bosan, baru secara terpaksa dan dibawah alam sadarnya kakinya mendorong. 

Pagi ini ketika saya hendak menyuapinya makan seperti biasa ia saya letakkan di baby walker. Ketika sudah beberapa suap, terkejutnya saya melihat Nai sudah mengerti mendorong baby walker. Ia secara sadar menggerakkan kakinya dan memperhatikan sekitarnya, termasuk saya ketika mendorong. Ia bahkan tahu target tujuannya hendak kemana. 

Ahh, anakku memang ajaib. Setiap ibu pasti merasa ajaib ketika melihat perubahan-perubahan pada bayi mereka. Seperti itulah proses belajar mereka. Benar-benar ibarat kertas putih yang sama sekali belum terisi apapun. Natural sekali cara mereka mengenali hal-hal baru. Mereka juga butuh pengulangan agar benar-benar mengenalinya. 

Satu hal yang tidak habis pikir buat saya. Nai pintar bercanda. Seringkali ia membuat suara-suara dengan intonasi teratur yang disengaja, lalu menghipnotis saya untuk mengikuti cara ia bersuara. Tanpa lupa ia menyungging senyum. Belum lagi kedekatannya dengan sang Ayah dengan cara yang berbeda. Memang namanya anak-anak suka sekali dengan perhatian. Merajuk jika tak ada yang temani ia. Dan jika di tempat tidur, si kecil nan imut senang sekali menempel ke badan. Sesekali menindih perut saya dengan kepalanya. Manja. Malah sekarang-sekarang ia suka memanjat ke perut saya menyentuh kalung atau sekedar bercanda. Serta sengaja menyeberangi perut agar bisa ke sebelah saya (sisi berseberangan). 

Nai bikin gemes aja.