Jumat, 25 April 2014

Jangan Pernah Lepaskan Aku!

"Sudah berapa kali harus kubilang? Tinggalkan dia! Kamu saja yang masih ngeyel untuk tetap bertahan sama laki-laki tak tahu adat itu."

Chat dengan seorang teman laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah mantanku - lewat media sosial pun terngiang di pikiran. 

Dua bulan terakhir ini aku sering merasa galau. Sehingga aku mencari pelampiasan yang dapat menstabilkan emosi yang kian bertumpuk. Dalam rentang waktu yang sama suamiku kerap bersikap aneh. Entah karena sedang banyak masalah di kantor, bertengkar dengan bos, campur tangan keluarga, atau yang lebih buruk lagi mungkin ada orang ketiga. Entahlah. Yang jelas, aku tak pernah bertanya padanya. 

Sejak keanehan sikapnya terhadapku, ketakutan untuk memulai percakapan pun muncul. Padahal biasanya suaraku mendominasi di rumah. 

Sebagai istri yang fulltime mengurus rumah, mau tak mau aku butuh curhat tentang keseharianku. Apa yang telah terjadi, apa yang kurasakan, dan semuanya yang kulakukan. Itu hal yang sangat melegakan untuk menyalurkan emosi. Sayangnya momen yang kuharapkan hanya bertahan selama tiga bulan pertama pernikahan kami. Kini sudah lima bulan lebih ia mendiamkan aku. Terus terang, aku jadi tak betah. 

Sempat terpikir untuk pulang ke rumah orang tua, tapi aku bingung dengan alasan yang akan kuutarakan. Belum lagi ceramah yang akan kuterima dari mama, yang ada makin merembet kesana-sini. Ujung-ujungnya malah makin runyam. Jadi lebih baik kupendam saja masalah keluarga kecilku rapat-rapat. Mengadu pada mertua? Sama saja seperti melempar api dalam sekam. Posisiku benar-benar terhimpit. 

Jalan yang kutempuh adalah memutuskan untuk kembali aktif bereksis ria di dunia maya. Padahal sebelumnya aku sudah putus hubungan dengan media sosial karena ingin mengabdikan sepenuh jiwa ragaku untuk mengurus suami dan rumah. Aku tak ingin jadi korban perceraian rumah tangga yang sedang marak akhir-akhir ini. Namun di sisi lain,  aku tak bisa terus-menerus menyimpan sakit di hati seperti ini. Tak ingin sampai terajut luka dari sakit yang terlanjur hadir di dada.  Aku hanya ingin mendapat ketenangan batin. Ya, aku rasa itu bisa didapat dengan berbagi dengan orang lain lewat dunia maya. Akan ada banyak teman yang bisa menghiburku. 

Aku mulai memainkan jemari lewat seluler pintar sentuhku. Setengah tahun tak kuhiraukan, ternyata sudah banyak yang mengundang pertemanan denganku. Tapi, tunggu! Nama dan foto itu. Mengingatkanku pada seseorang yang pernah singgah di hati. Oh tidak, jantungku berdegub kencang saat kulihat profilnya. Ternyata benar, itu memang dia. Mantanku semasa SMA. Soni Guantheng Buanged. Ternyata dia masih alay, batinku. 

Tanpa pikir panjang, kuterima pertemanan darinya dengan tangan gemetar saking gembiranya. Desiran hati semakin menggebu saat kulihat ia mengirim pesan ke inbox. Katanya, sudah lama ia mencariku dan kangen. Sumpah, hatiku berbunga-bunga. Dalam sekejap saja segala masalah yang seolah menggunung lenyap seketika. 

Sony Guantheng Buanged: Nina, kamu masih ingat aku, kan? Kamu kemana aja? Aku kangen. 

Tanpa pikir panjang segera kubalas,

Nina Sigadis Ting Ting: Soooooon, kamu dimana??? Aku juga kangen...

Kutunggu balasan darinya, berharap ia sedang online. 

Satu menit. Dua menit. Lima menit. Huh, kemana sih dia? Hanya terkirim saja, ia belum membacanya. Sambil menikmati tontonan tv favorit sambil duduk santai di sofa, terdengar nada pesan masuk dari medsos messenger dari hpku. Segera kurampas hp dan kubuka pesan yang masuk. Dari dia. 

Sony Guantheng Buanged: Hai, Nina... 
Pakabar? 

Nina Sigadis Ting Ting: Baik, Son. 

Sony Guantheng Buanged: Enggak nyangka ketemu lagi meski di dumay :) 

Nina Sigadis Ting Ting: Iya rasa seabad enggak ketemu kamu

Sony Guantheng Buanged: Dimana sekarang? 
Sudah menikah?

Nina Sigadis Ting Ting: Aku enggak kemana-mana, Son
Disini-sini saja
Aku sudah menikah, Son. Kamu?

Lama ia membalas chatku. Sepertinya sedang berpikir atau malah kecewa. Hiks. 

Sony Guantheng Buanged: :)
Masih single. 

Entah bagaimana perasaanku saat ia katakan belum menikah. Menyesal, senang campur aduk. Di tengah peliknya suasana hati, berandai-andai terasa lebih menyenangkan. Ah, seandainya Sony bla bla bla. 

***

Percakapan di dunia maya antara kami berdua semakin intens. Awalnya berbincang ringan seputar aktivitasnya, meningkat jadi lebih perhatian, dan aku merasa kami semakin dekat. Hingga tiba di suatu titik di mana aku berani berkeluh kesah tentang situasi yang kuanggap 'masalah' di rumah. Memutuskan untuk curhat padanya karena aku butuh pelampiasan atas kekesalanku pada suami yang terasa semakin jauh dariku.

Sony menyambut baik keputusanku dan ia mau menampung segala muntahan kekesalan. Perhatiannya semakin membuatku candu. Tak bisa sehari tanpa sapaan darinya. Jalinan hubungan dengan mantanku itu membuat hidup ini kembali cerah. Kebahagiaan sesaat yang sangat kunikmati meski setiap suami pulang ke rumah, kembali serasa tinggal di neraka. Bahkan aku sampai memasang target. Seandainya sampai hari ulang tahunku yang tinggal seminggu lagi sikapnya masih seperti itu, maka anjuran Sony akan kuindahkan. 

Namun sungguh tak disangka-sangka. Sikap jutek suami ada maksudnya. Ia sengaja mendiamkanku karena ingin memberi kejutan tepat di hari ulang tahun. Aku terharu. Teramat sangat. Wanita mana yang tidak bahagia ketika suami mengajak ke taman rumah yang ia sengaja menyalakan lampu kerlap-kerlip bertuliskan 'Happy Birthday My Honey'. Perempuan mana yang tak kan senang ketika suami menyerahkan sertifikat rumah yang bertahtakan nama istrinya disana setelah selama ini tinggal di kontrakan yang kurang layak untuk pasangan pengantin baru seperti kami.  Dan aku pun menangis merangkul suamiku erat. Seerat yang kubisa. Aku menyesal. 

Ya, aku menyesal atas ulah bodoh yang selama ini kulakukan secara diam-diam. Di saat suami mendiamkanku, sebenarnya ia sedang merencanakan sesuatu yang indah untukku. Tapi yang kulakukan justru kebalikannya. Andai ia tahu. Tidak! Aku tak mau kehilangan suamiku tercinta hanya karena kecerobohan dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Yang membuatku gusar adalah bagaimana menghentikan Sony yang terus-menerus menghubungiku lewat medsos dan seluler. Bagaimanapun juga aku harus menghentikannya! 

Maka yang kulakukan adalah menonaktifkan akun medsos agar tak dapat diakses siapapun dan memblok nomor hp lelaki itu. Namanya yang semula tertulis sebagai 'Sony' segera kuganti dengan 'Sonya'. Berbohong demi menyelamatkan keutuhan rumah tangga lebih baik selama tidak terus-menerus kulanjutkan, menurutku. Lalu menghentikan sepenuhnya tindakan yang sudah terlanjur terjadi. Sungguh, berbuat hal yang tidak baik itu lebih meresahkan dibanding kata resah itu sendiri. Kapok. 

Setelah hari ulang tahunku dan hari-hari selanjutnya, rumah tangga kami kembali mesra. Hari-hari terasa lebih indah tanpa beban perasaan. Tak pernah lagi kutunggu sms maupun telepon dari Sony, apalagi chatting dengannya. Putus hubungan dengan medsos, putus hubungan dengan Sony. Tak ada lagi jejaknya sama sekali yang perlu kukhawatirkan. Aku benar-benar sudah melupakannya. 

"Sayang, maafin ya atas sikapku selama ini. Kamu memang istri yang sangat sabar. Beruntung aku memilikimu." Ucap suami yang membuat jantungku berdebar kencang. Teringat kesalahan yang lebih fatal akibatnya, jika terendus olehnya. Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku yang harus berkata demikian. Tak terasa air mata pun menetes. 

"Sayang, sayang, a-ada apa? Mengapa kamu menangis? Maafkan aku!" Tanya pangeranku gelagapan melihat reaksi dariku. Khawatir telah menyakiti hatiku. Ia menduga aku masih menyimpan dendam karena pernah menyakiti hatiku. 

Aku menggelengkan kepala tanda tidak apa-apa. Kupandangi wajah suami lekat-lekat, tak kupedulikan air mata yang semakin berlinang. Guratan halus mulai terlihat dari hasil kerja kerasnya untuk menafkahiku. Oh, suamiku. Kau bukanlah sekedar manusia biasa, melainkan malaikat penjaga yang sengaja Allah kirimkan untukku, batin ini berseru. 

Kurangkul tubuh ringkih priaku seerat-eratnya. Bibir ini tak berhenti bertasbih, mensyukuri apa yang telah menjadi keputusan-Nya. Sungguh indah skenario-Nya yang masih menyayangiku dengan menutupi segala keburukan. Membuat diri ini berjanji untuk setia padanya sampai mati. Berkata dalam hati, "Tolong! jangan pernah lepaskan aku dari pelukanmu."

Selasa, 15 April 2014

(LAGI) Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Saya ingin mengupas karya Bang Tere yang lainnya. Suka banget dengan covernya yang bergambar daun. Cocok banget sama judulnya. Bukan hanya cover, isi bukunya juga bikin perasaan saya teraduk-aduk selama kurang dari 48 jam baca sampai habis. Memangnya gimana sih?

Khas Bang Tere banget, dia mendeskripsikan setting karakternya dengan sangat terlihat. Langsung kebayang! Padahal bahasa yang digunakan tu sederhana banget, gak muluk-muluk dengan diksi yang bikin pusing mikirnya. Gampang dimengerti dan jauh dari kata bertele-tele alias to the point. Alhasil, apapun yang dilihat sama si "Aku" disitu juga jelas sama kita pembacanya. Ya, di novelnya yang satu ini menggunakan sudut pandang orang pertama. 

Yang gak pernah ketinggalan adalah dialog-dialog andalan Bang Tere yang bener-bener jago mainin perasaan pembacanya. Saya tu sampai dibikin senang, kecewa, sedih, tertawa, sebal setengah mati dan juga meleleh keluar air mata. Lihai banget penulis yang satu ini dalam menulis cerita. Belum lagi penokohan atau karakter di dalamnya jelas banget. Kalau tokoh utamanya keras kepala, ntar ada tokoh yang baik budi, tapi gak ketinggalan pasti ada yang jenaka. Karakter masing-masing juga konsisten banget. Didukung sama dialognya yang memperjelas watak tokohnya. Bikin yang baca bertekuk lutut untuk penasaran baca terus. Ketagihan!

Yang punya nama asli Darwis ini juga kalau nulis seringkali mengusung kisah anak-anak yang latar belakangnya kurang beruntung. Namun karena tekad yang luar biasa mereka yang awalnya ditendang malah jadi disayang pada akhirnya. Prosesnya itu yang apik banget dikisahkan oleh penulis satu ini. Dan keliatan banget kalau beliau melakukan riset dulu sebelum nulis sehingga kita pembacanya juga menjiwai banget cerita dan terhadap tokohnya. 

Penasaran kan ama ceritanya?

Singkatnya sih ini kisah dua anak yatim yang harus hidup di rumah kardus di pinggir kota. Awalnya mereka hidup senang tanpa harus bekerja, namun nasib mengharuskan mereka mengamen dan meninggalkan sekolah semenjak ayah Tania dan Dede meninggal. 

Adalah Om Danar yang terpaut 16 tahun dengan Tania yang sangat ringan tangan membantu keluarga mereka. Menyekolahkan ia dan adiknya hingga memberikan uang bulanan kepada ibu mereka. 

Kisah cinta yang pelik ditorehkan dalam novel ini. Benar-benar pelik. Saya ampe gemes ngebayanginnya. Kesel sendiri ama tokohnya. Tapi yang menghibur adalah tokoh Dede yang jenaka lewat dialog-dialognya yang ketus tapi berbalut humor. 

Endingnya sama sekali enggak ketebak ama saya. Bener-bener menggemaskan haha. 

Intinya sebenarnya hanya bayangan Tania di masa enam tahun silam di sebuah toko buku yang memorable banget baginya. Hingga toko mau tutup dia bergegas menemui seseorang berharap menemukan jawaban atas teka-teki hidup dan cintanya.

A must have book deh!

Sabtu, 12 April 2014

Dua Lembar Biru Penyelamat

Bangun pagi tadi suami ngajakin ke kota karena ada rapat dengan vendornya. Sekalian belanja, pikirku. Ia mengingatkan pukul sepuluh teng harus sudah siap berangkat. Oke, jawabku. 

Bayi sudah selesai kudandani. Aku dan suami juga siap untuk berangkat. Ada yang belum ternyata. Dompet. Aku ingat tadi pagi sudah memasukkan sejumlah uang ke dalamnya. Langsung masuk kamar untuk mengambilnya dan kuletakkan di atas meja terlebih dahulu. Ada hpku yang bersanding dengan dompet warna putih itu. 

Sementara aku ke kamar mengambil kaos kaki, suami sudah menuju mobil bersama bayi kami tercinta. Cepat-cepat kuambil hp karena dompet sudah tak terlihat di antara tumpukan benda-benda di meja. Pasti suami sudah mengamankannya. Sebelumnya aku sempat mengambil lagi seratus ribu, takut uangnya kurang karena harus belanja untuk bekal satu minggu ke depan. 

Masuk mobil kutanya suami,"Bang, dompet adek udah abang ambil?", dengan segera ia jawab,"Udah nih," sambil menyentuh saku belakang celananya. Bayi kurangkul dan suami langsung tancap gas. 

Setelah rapat selesai, tiba waktunya untuk makan siang. Lumayan bosan menunggu di dalam mobil, walaupun sempat foto selfie bersama bayi sebagai selingan saat memberinya makan. 

"Ayo kita ke Town Hall, makan siang disana," ajak suami. 

"Haayuuk... Siapa takut?" Jawabku ngasal.

Tiba disana aku memesan soto ayam dan jeruk hangat. Pas untuk cuaca yang sedikit mendung, menurutku. Sementara suami memesan mie ayam dan es kelapa muda. Tidak pas sama sekali dengan cuaca yang juga sedikit dingin. Sebelum diantar, suami yang sudah kutitip uang seratus ribu di kantongnya membeli risoles untuk makanan pembuka. 

Setelah makanan dan minuman raib dari wadahnya, kami memutuskan untuk pulang. Sebelumnya kupastikan dahulu apa pesanannya sudah dibayar atau belum karena dompetku dipegang oleh suami dan ia yang memesankan. 

"Pesanan ini udah abang bayar, belum?" 

"Belum." Lantas suamiku menggendong bayi kami. 

"Yaudah sini dompet adek biar adek bayar," pintaku. Tak disangka wajah panik yang kemudian tergambar dari wajah suamiku. 

"Loh, koq sama abang? Enggak ada di abang. Dompet abang enggak ada duitnya," jawabnya setengah panik sambil menyentuh saku belakang, sementara tangan satunya menyangga pantat bayi kami. Lalu sadar dari dua lembar lima puluh ribuan yang telah dibelikan risoles, sisanya diserahkan padaku. Tersisa tujuh puluh ribu. Uang pun berpindah tangan padaku. 

"Lah, tadi sebelum berangkat kan udah adek tanya ma abang katanya udah abang ambil. Gimana, sih?" Kami masih berdebat sambil melangkahkan kaki menuju warung makan pesanan kami. 

"Abang kira tadi adek nanya dompet abang. Yaudah bayar aja dulu, kalau kurang ambil atm ntar." Suamiku nyengir kuda sambil pasang tampang innocent. 

Untungnya, kami makan bukan di tempat biasanya. Harga di Town Hall memang miring dan hanya menghabiskan Rp 42.000 saja dari pesanan kami berdua. Aku ingat sekali ketika membayar di tiga tempat yang berbeda. Aku seperti menanyakan mau angpao berapa pada tiga orang penjual dari warung yang berbeda. Sampai tahan nafas berharap uangnya cukup untuk membayar. Bahkan saat menuju mobil sempat-sempatnya kami saling menyalahkan sambil tertawa-tawa seperti orang gila. Sementara bayi kami yang tak tahu apa-apa hanya bisa menyaksikan tingkah konyol kedua orang tuanya. Ada-ada saja. 

Tapi ada hikmah besar yang menjadi pelajaran dari kejadian ini. Entah ada angin apa yang menggerakkanku untuk mengambil dua lembar lima puluh ribu dari amplop "rahasia". Dan memang tinggal segitu lagi uang di dalamnya. Dua lembar inilah yang menyelamatkan kami dari transaksi yang nyaris berakhir dengan malu tadi. Lain kali tidak mau lagi terulang kembali tragedi dompet yang konyol ini. 




Selasa, 01 April 2014

(GIVEAWAY) Ayah, Sang Pendongeng yang Piawai

Cover Kumpulan Dongeng Anak Karya Hastira Soekardi


Ngomong-ngomong soal dongeng, hal pertama kali yang terlintas di benak saya adalah masa kecil. Setiap habis maghrib sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga untuk berkumpul di kamar Mama dan Ayah. Sambil menunggu waktu makan malam, biasanya Ayah mendongeng terlebih dahulu sesuai request. Saking banyaknya koleksi dongeng yang mampu diingat olehnya.

Kadang suka ketawa sendiri mengingat masa kecil dulu. Senang sekali jika waktu berkumpul sudah tiba karena dongeng time itu yang ditunggu-tunggu sebenarnya. Penasaran dengan cerita-cerita yang akan Ayah kisahkan karena beliau piawai sekali dalam mendongeng. Antusias sekali untuk mendengarkan beliau, terutama suara-suara yang berbeda agar tokoh yang dikisahkan terdengar kentara.

Seringkali saya dan adik-adik berebutan untuk didongengkan. Kisah andalan Ayah antara lain; cerita para Nabi dan Rasul dari Adam as hingga Rasulullah saw, si kancil dan buaya, Gareng dan Petruk, termasuk dongeng karangan ayah sendiri. 

Tanpa disadari, banyak nilai dan manfaat yang didapat ketika mendengarkan dongeng. Tidak hanya menstimulus kemampuan berimajinasi dari sebuah kisah, tetapi juga membangun daya pikir lewat pertanyaan-pertanyaan yang timbul terhadap tokoh maupun latar ceritanya. Penasaran pun timbul untuk mengetahui kelanjutan ceritanya, walaupun sudah berulang kali kisah yang sama diceritakan. Hal yang sangat signifikan terasa hingga saat ini adalah tumbuhnya wawasan dan nilai agama pada diri sehingga lebih religius dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dongeng yang Ayah ceritakan menginspirasi saya untuk menulis. 

Sejak usia Sekolah Dasar (SD) saya suka sekali menulis curhatan singkat. Apa yang sudah terjadi hari itu dan apa yang saya rasakan. Hingga untuk pertama kalinya saya memiliki diary saat menginjak bangku SMP dan mulai menuliskan segala hal disana. Namun, mengisahkan tentang cerita anak bermula dari keikutsertaan dalam event menulis dari salah satu penerbit. Bersyukur sekali karena cerita saya terpilih untuk dijadikan salah satu antologi dalam buku kumpulan cerita anak. 

Antologi cernak saya berjudul "Janji Lara", mengisahkan seorang anak perempuan bernama Lara yang lebih memilih bermain games di PSP daripada mengaji di surau. Dalam tulisan tersebut, saya menonjolkan kekuatan mimpi yang mengarahkan pada pilihan yang harus diambil Lara dari sikapnya, serta manfaat jika ia rajin mengaji. Selain itu, dialog Lara dengan ibunya memuat nilai moral bahwa seorang anak hendaklah menuruti perintah orang tua. Saya juga punya harapan, melalui antologi saya ini kelak bayi saya dapat merasakan pula manfaatnya.

Meskipun anak saya masih bayi, sesekali saya menyuarakan apa yang sedang saya baca dan menunjukkan padanya bacaan tersebut. Kelihatannya tipe anak saya audio karena senang mendengar bunyi-bunyian. Hal ini membuat saya tidak sabar supaya ia cepat besar. Agar bisa mengikuti jejak Ayah untuk menceritakan puluhan hingga ratusan dongeng padanya. Ingin melihat seberapa antusias ia mendengarkan, sejauh apa rasa penasaran yang tumbuh, seterang apa binaran di matanya saat saya menceritakan dongeng padanya seperti yang Ayah lakukan dulu. Sekaligus membuktikan sepiawai apa kemampuan mendongeng saya nantinya. Semoga bisa seperti Ayah. mamahtira