Selasa, 25 Maret 2014

Kini Kumengerti, Mama!

Dulu ketika masih sendiri, banyak sekali teman-teman bilang kalau aku sangat ekspresif. Bila berbicara mataku berbinar-binar, menyiratkan semangat yang mampu menularkan ke lawan bicara. 

Begitu pula setiap kali aku berbicara dengan mama. Aku yang lebih sering menghabiskan waktu di sekolah ketimbang di rumah selalu memberi laporan kegiatan-kegiatanku padanya. Mama sungguh pendengar yang paling baik. 

Hingga saatnya aku kuliah, pun jauh dari tanah kelahiran. Bisa kupastikan waktuku habis hanya untuk memikirkan urusan sekolah dan diriku saja. Pulang hanya saat lebaran Idul Fitri atau libur semester genap. Aku harus memilih salah satu dari kedua waktu tersebut. 

Mama benar-benar sudah memperhitungkan kematangan usiaku untuk bisa diajak curhat olehnya. Diluar dugaanku selama ini yang berpikir betapa idealnya keadaan rumah tangga yang sudah terbina lebih dari 20 tahun itu. Tak pernah kulihat pertengkaran maupun masalah diantara mereka. Ternyata aku salah! Mereka selama itu tidak baik-baik saja. Namun aku bersyukur mereka tetap bertahan. Hebatnya mereka mampu menutup rapat-rapat masalah yang terjadi pada kami, anak-anaknya.

Hari indah itu datang. Akhirnya sang pangeran berkuda putih datang menjemput. Tidak tanggung-tanggung, ia membawa jauh diriku dari orang tuaku dan juga orang tuanya. Kami hidup berdua jauh di perantauan. Saat itu, yang aku pikirkan adalah hidup bersama orang terkasih itu akan sangat membahagiakan.

Hari-hari berdua pun kami lalui. Pacaran setelah menikah pun kami jalani. Benar-benar pacaran. Kami sama-sama belajar mengenali karakter masing-masing dan mengelola rumah tangga. Di tengah kebahagiaan yang kami rasakan tentu ada juga masa-masa sulit. Kujadikan setiap masalah yang muncul sebagai sebuah tantangan untuk segera diselesaikan. Ibarat perahu, aku harus mengendalikan kemudinya semaksimal mungkin jika tidak ingin karam diterjang badai. 

Dan aku selalu teringat akan dirimu, Mama! Mungkin mama berpikir jika anak sulung dan wanita satu-satunya ini jarang mengingatmu karena jarang menelepon? Tidak, Ma! Setiap bulir darah yang mengalir di tubuh ini menjadi saksi bahwa di hatiku namamu selalu terpatri. Seperti ini juakah yang mama rasakan selama ini? Sakit. Gembira. Kecewa. Bahagia. Terus berputar mempermainkan jiwa dan perasaan. Datang silih berganti. Namun kami masih bisa melalui badai dan ombak yang datang. 

Malaikat kecil kami pun lahir ke dunia. Kebahagiaan lain yang kurasakan. Mungkin setelah ini kesenangan yang kuimpikan terus abadi itu akan datang. Ternyata tidak! Ada saja cobaan demi cobaan yang datang. Kadang aku berpikir, bodoh sekali aku yang terlalu mengedepankan perasaan dibanding logika. Yang ada capek hati saja! Enak sekali menjadi lelaki, pikirku. 

Tapi sisi lain hatiku meredamnya saat aku memilih untuk mengingat mama dan ibu mertua. Mereka juga pasti terlebih dahulu merasakannya. Pahit getir yang lebih menghujam yang seringkali menyiksa. Namun mereka sudah berhasil melaluinya setelah berdamai dengan hati masing-masing. Mereka juga memilih untuk mengorbankan perasaan demi keutuhan rumah tangga. Ya, mama pernah bilang padaku bahwa setiap kelahiran anak maka cobaan juga berdatangan. Dulu aku tidak menanggapinya, tapi sekarang kualami sendiri. Kadang ingin curhat, tapi terlanjur malu dan tidak patut saja. Biarlah kemesraan saja yang mereka tahu. Seperti yang sudah mereka lakukan. 

Seorang teman mengunjungiku untuk melihat bayi perempuan kami yang masih merah. Karena ia belum juga menikah, akupun menyindir halus dirinya. Kupikir ia akan menjawab dengan alasan klise. Sangat mengagetkan mendengar jawaban darinya. 
"Jika pun ada yang mau denganku, mungkin jalinan itu tak kan lama. Kau tahu sekali aku orangnya bagaimana, kan? Lagipula matamu yang dulu berbinar-binar saat berbicara, kini tampak redup. Apa karena sering begadang? Kurasa tidak."

Terus terang, sempat terperanjat ketika kudengar paparannya yang disampaikan sesantai mungkin. Hasil analisa yang teliti dan mungkin ada benarnya. Bahkan tak terpikir olehku sebelumnya. 

Perkataannya mengingatkanku akan raut wajah mama yang mulai bergaris disana-sini. Mata itu. Mata yang kuyakin dulu juga berbinar dari segudang prestasi yang ia ceritakan padaku. Yang membakar semangat untuk bisa melebihinya sampai aku berhasil. Yang bersedia mendengarkan segala hal tentangku, yang setia menemaniku kala sedih dan senang, dan masih banyak lagi.

Terlambat! Kemana saja aku selama ini? Bahkan awal mula binaran itu meredup pun aku tak tahu. Keluh kesahnya tak pernah kutanya. Aku hanya sibuk dengan urusanku sendiri hingga seringkali tak bisa berbuat lebih untuk orang yang telah melahirkanku. Atau ini karma? Karena hampir tak ada waktu yang kuluangkan untuk kedua orang tuaku sehingga semua ini ditimpakan kepadaku? 

Kini aku paham maksudmu, Ma! Aku paham apa yang engkau rasakan selama ini. Aku mengerti mengapa sikap itu yang kau ambil ketika menghadapi Ayah. Aku percaya semua nasihatmu menjelang pernikahanku dulu. Tapi aku terlambat untuk memperoleh ilmunya. Aku justru harus setiap detik mempelajarinya karena ilmu dalam rumah tangga terus bertambah. Hanya saja itu semua tergantung padaku. Mau kupelajari atau tidak!  

Satu hal yang dapat kukatakan. Rumah tangga yang selalu bahagia hanya kau dapatkan di sinetron saja dan skenarionya diciptakan sendiri. Berbeda dengan skenario Allah, sesulit apapun kau membina rumah tangga selalu ada maksud dari-Nya. Kini kumengerti, Ma!

4 komentar:

  1. gimana caranya buat blog yang seperti ini, keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, Eyang ini memuji atau menghina ni?
      Thx Eyang sudah berkunjung. Saya bakal kunjung balik ^^

      Hapus
  2. Waah Rosi, bahasa peulisannya makin bagus nih ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo Ci sering nulis lagi. Ikutan Komunitas Bisa Menulis, banyak ilmu gratis disana. Lumayan lah selingan buat ibu rumah tangga haha

      Hapus