Rabu, 05 Februari 2014

Kandungan Novel "Moga Bunda Disayang Allah" karya Tere Liye

Jujur, gak nyesal hari jumat siang (31 Januari 2014) lalu beli langsung empat buku Tere Liye. Mungkin karena belinya di Bontang total harganya 202.500 rupiah. Buat sebagian mungkin mahal, mending beli rokok. Tapi buat seorang kutu buku kayak saya, itu gk ada apa-apanya dibanding isi yang terkandung dari novel yang saya beli. Suami aja ampe ngelipat dahi. 

Salah satu novel yang saya beli berjudul "Moga Bunda Disayang Allah". Yang ternyata udah difilmkan tahun 2013 lalu. Hellooo... Kemane aje gue??? Kebetulan tahun lalu saya juga melahirkan. Boro-boro nonton film, nonton tv aja jarang banget. Hemat saya, ini adalah novel spektakuler seumur-umur saya baca buku. Sumpah pake banget dah. 

Sekilas dari judul kayaknya standar aja ni ceritanya. Paling banter nebaknya seorang ibu yang udah ngelahirin anaknya dan mengurus segala hal dengan baik. Ternyata SALAH, walaupun ada benarnya. Benar seorang ibu yang mengasuh anaknya. Tapi tidak sesederhana yang kita pikirkan. 

Sungguh, Bang Tere benar-benar piawai menggambarkan kisah nyata di novel ini. Kisah keluarga kaya-raya yang dianugerahkan anak saat usia mereka diatas 40 tahun. Padahal mereka menikah di usia muda. Seorang yang disegani menyarankan keluarga ini untuk bersedekah hingga akhirnya sang istri hamil. Kandasnya, saat mereka berlibur di pantai anak perempuan yang sudah berusia tiga tahun itu terkena lemparan piring Brisbee saat sedang main air laut. Dia jatuh terduduk, namun tidak pingsan. 

Sekilas memang tidak ada yang aneh, tapi di hari yang sama setelah melihat Melati (nama anak perempuan itu) jalan terantuk-antuk, dokter memvonis buta pada anak mereka. Naasnya lagi, beberapa lama kemudian anak ini malah tuli dan juga bisu. Tiga kemampuan sekaligus terenggut di usia yang terbilang sangat belia. Saat itulah kesabaran kedua pasang paruh baya diuji. Sudah banyak usaha yang ditempuh, termasuk memanggil dokter ahli terapi beserta timnya. Sia-sia. 

Hingga akhirnya, anak dari kenalan mereka merekomendasikan seseorang yang sangat mengenal dunia anak-anak. Disini terjadi tawar-menawar karena pria yang dimaksud mengalami trauma berat karena tidak bisa melupakan kecelakaan yang menewaskan 18 orang anak kecil akibat badai di laut saat mengajak tim taman bacaan yang dikelolanya mengenal alam laut. Saat ia sadar akan sesuatu, pria yang bernama Karang bersedia menolong keluarga kaya tersebut untuk membantu Melati yang sempat hampir membawanya ke Rumah Sakit Jiwa. 

Karang menguras pikirannya untuk mencari cara agar Melati memiliki akses untuk belajar. Bayangkan saja, ia tak bisa melihat, mendengar dan berbicara. Disitulah tantangan terbesar untuk Karang. Mengenalkan dunia termasuk kedua orang tuanya, serta orang-orang di sekitar. 

Konflik dalam buku ini justru saat-saat di mana Karang mengajarkan Melati untuk mengenal benda. Awalnya Karang marah sekali melihat Melati tidak makan dengan sendok, malah dengan tangan tapi lebih tepatnya mengacak-acak makanan. Menurut Karang cara makan seperti itu tidak manusiawi, sama seperti binatang. Untuk membiasakannya saja butuh seminggu. Itu juga setelah Karang diminta pergi dari rumah itu oleh ayah Melati karena ditemukan botol alkohol di kamarnya. Pada hari yang sama Tuan HK tersebut harus ke Jerman selama 3 minggu untuk meeting urusan bisnis keluarga. Saat itu pula Karang memohon pada Bunda HK untuk memberi perpanjangan waktu hingga 20 hari kedepan (sehari sebelum kepulangan Tuan HK dari Jerman).

Sayangnya, progress Melati sangat lambat. Untuk dapat duduk di kursi saja butuh waktu 1 minggu. Menurut Karang, pembiasaan saja tidak cukup. Melati harus tau bahwa yang dia duduki itu bernama kursi, bahkan harus tau apa itu duduk. Hingga hari terakhir jatah waktu Karang malah ada kejutan besar. Tuan HK pulang sehari lebih awal hendak memberi surprised. Tapi terlanjur basah, kadung ketahuan bahwa Karang masih di rumahnya saat mereka sarapan bersama di ruang makan. 

Tuan HK marah besar merasa istri menipunya. Kerah baju Karang ditarik dan jarak kedua wajah sangat dekat sekali saking marahnya. Di saat itu lah keajaiban terjadi. Melati menemukan cara untuk mengenal benda. Awalnya ia merasakan air di telapak tangannya. Karang yang begitu menyadari itu semua meraih sebelah tangan Melati yang lain sambil menuliskan huruf di telapak tangannya, lalu mengarahkan telapak tangannya ke mulut Karang agar dirasakan suara Karang melalui kulitnya. Hingga akhirnya Melati tahu segala hal dengan teknik tersebut. Atau dikenal dengan teknik Tadoma. 

Sungguh, membaca buku ini mengaktifkan semua indera yang kita miliki. Perasaan berkecamuk. Menangis. Ah, baca saja bukunya. Banyak pesan di dalamnya. Bahkan jadi bahan pelajaran hidup terutama buat saya yang memiliki bayi. Bersyukurlah kita yang diberikan kesehatan panca indera oleh Allah. Dan kisah ini terilhami oleh perjuangan Hellen Keller yang bisa di cek di wikipedia :)

6 komentar:

  1. tia udah baca jugaaa.. tapi menurut tia lebih sedih Hafalan Shalat Delisa dehhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kk duluan baca Hafalan Shalat Delisa, Tia... Kk sedih novel ini krn udh punya anak x ya... Dulu sedih baca HSD krn baru tsunami hehe

      Hapus
  2. rahmi baca novel nya 2010 pas gi di Penang :p,
    tapi belum sempat nonton juga filmya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah Rahmi... Kenapa pas di Penang gak pengumuman??? Oya udah baca novel barunya yg judul "BUMI"?

      Hapus
  3. pernah Rahmi bilang, cuma Rosita ga ngeh..
    belummm,, novel Amelia juga belum beli :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks, koq bs gk ngeh ya waktu tu. Jadi aja skrg Rosita koleksi novelnya Tere Liye, Mi. Yg paling menyentuh tu Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Udah baca Mi?

      Hapus